Pendahuluan
Konsep Sekolah Rakyat yang lahir pada masa awal kemerdekaan Indonesia merupakan wujud nyata semangat mencerdaskan bangsa pasca kolonialisme. Ia dirancang untuk menjawab kebutuhan mendesak saat itu: membuka akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.
Dalam konteks sejarah, Sekolah Rakyat adalah simbol keberpihakan negara terhadap rakyat kecil sekaligus manifestasi nilai kebangsaan, kemandirian, dan gotong royong.
Namun, memasuki abad 21, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan baru: ketidakmerataan akses, perkembangan teknologi digital, serta kebutuhan keterampilan yang semakin kompleks.
Saat ini kebijakan Presiden Prabowo dibukanya kembali sekolah rakyat. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana jika konsep Sekolah Rakyat diadaptasi kembali untuk menjawab tantangan pendidikan saat ini, tanpa kehilangan nilai historis dan filosofis yang melandasinya?
Sekolah Rakyat dalam Perspektif Historis
Pada era awal kemerdekaan, Sekolah Rakyat berfungsi sebagai sarana pemerataan pendidikan. Ciri khasnya adalah kesederhanaan fasilitas, kedekatan dengan komunitas, serta semangat nasionalisme yang ditanamkan dalam proses belajar.
Tujuan utamanya bukan sekadar transfer ilmu, melainkan juga membentuk manusia Indonesia yang merdeka dalam berpikir, berkepribadian, dan memiliki semangat kebangsaan.
Keterbatasan fasilitas tidak menjadi hambatan utama, karena semangat gotong royong masyarakat sering kali menutupi kekurangan infrastruktur. Guru, yang saat itu dikenal sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa," tidak hanya berperan mengajar tetapi juga mendidik karakter dan menumbuhkan rasa percaya diri bangsa yang baru lahir.
Tantangan Pendidikan Abad 21
Seiring perkembangan zaman, tantangan pendidikan menjadi semakin kompleks. Pertama, masalah ketidakmerataan akses masih ada, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Kedua, perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia belajar, bekerja, dan berinteraksi.
Pendidikan tidak bisa lagi sekadar mengandalkan metode tradisional, tetapi harus memanfaatkan teknologi agar mampu bersaing secara global. Ketiga, keterampilan abad 21—seperti literasi digital, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi—menjadi prasyarat utama untuk bertahan dalam dunia kerja yang terus berubah.
Mengadaptasi Konsep Sekolah Rakyat untuk Abad 21
Untuk menjawab tantangan tersebut, Sekolah Rakyat abad 21 perlu dirancang ulang dengan memadukan semangat historis dengan inovasi pendidikan modern.
Akses Pendidikan Inklusif dan Merata
Sekolah rakyat masa kini harus hadir sebagai solusi ketidakmerataan pendidikan. Pemanfaatan teknologi digital dapat menjadi jembatan untuk menghadirkan pembelajaran bagi siswa di daerah terpencil.
Konsep blended learning—menggabungkan pembelajaran tatap muka dan daring—dapat diterapkan dengan dukungan modul digital yang bisa diakses secara offline maupun online. Pemerintah dan masyarakat lokal dapat bekerja sama untuk menyediakan infrastruktur dasar, sementara relawan, alumni, dan praktisi profesional dapat terlibat sebagai pendamping belajar.
Kurikulum Berbasis Keterampilan Abad 21
Kurikulum Sekolah Rakyat abad 21 tidak cukup hanya mengajarkan literasi dasar, tetapi juga harus menekankan literasi digital, keterampilan kolaboratif, komunikasi, dan kreativitas.
Selain itu, penguatan keterampilan vokasional berbasis lokal—misalnya pertanian cerdas, kewirausahaan sosial, teknologi tepat guna, dan ekonomi kreatif—akan memperkuat daya saing lulusan, sekaligus menjawab kebutuhan nyata masyarakat di sekitarnya.
Pelestarian Nilai Historis dan Filosofis
Meski bertransformasi, Sekolah Rakyat harus tetap mempertahankan nilai gotong royong, kesederhanaan, serta semangat kebangsaan. Proses pembelajaran tidak boleh hanya berorientasi pada capaian akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter, solidaritas sosial, dan kecintaan terhadap tanah air. Dengan begitu, Sekolah Rakyat akan tetap menjadi institusi pendidikan yang membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Kolaborasi Multisektor
Agar berkelanjutan, Sekolah Rakyat abad 21 harus didukung oleh kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga internasional. Dunia usaha dapat berperan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang mendukung pengembangan teknologi pembelajaran. Pemerintah menyediakan regulasi dan infrastruktur dasar, sementara masyarakat menjaga semangat gotong royong dalam keberlangsungan sekolah.
Kesimpulan
Jika di masa lalu Sekolah Rakyat menjadi jawaban atas kebutuhan mendasar bangsa yang baru merdeka, maka di era sekarang ia berpotensi menjadi model inovatif untuk menjawab ketidakmerataan akses pendidikan, perkembangan teknologi, dan kebutuhan keterampilan abad 21.
Dengan tetap berpegang pada nilai historisnya—gotong royong, kesederhanaan, dan kebangsaan—Sekolah Rakyat abad 21 dapat menjembatani masa lalu dan masa depan: sebuah warisan sejarah yang hidup kembali untuk menjawab tantangan global.
Penutup
Dengan mengadaptasi konsep Sekolah Rakyat ke dalam desain pendidikan yang relevan dengan abad 21, Indonesia tidak hanya menjaga warisan pendidikannya, tetapi juga menciptakan solusi visioner yang inklusif, adaptif, dan berakar pada jati diri bangsa.
Sekolah Rakyat bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan strategi nyata untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi hak setiap warga negara, sekaligus pintu menuju kemandirian di era global.
*) Afnani Toyibah merupakan mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
