Prinsip Perlindungan Anak dalam Kasus Kekerasan di Sekolah

16 November 2025 10:49 16 Nov 2025 10:49

Thumbnail Prinsip Perlindungan Anak dalam Kasus Kekerasan di Sekolah
Nurani Soyomukti

Anak yang terlibat dalam sebuah kasus kekerasan tetap memiliki hak-hak yang harus dijamin. Namun, dalam insiden kekerasan di sekolah—seperti kasus pemukulan guru oleh keluarga siswa di SMPN 1 Trenggalek—ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian kita.

Kita perlu memahami dinamika kasus kekerasan di sekolah—lepas dari siapapun korban dan pelakunya—dari perspektif hak anak.

Kalau kita melihat kasus kekerasan di SMPN 1 Trenggalek yang viral, kita mengetahui bahwa ada anak yang terkait dengan kronologi kejadian ini. Mungkin kita memperhatikan kasus ini dari media dan konten di media sosial termasuk komentar-komentar netizen.

Harapan kita tentunya adalah agar tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan upaya menjamin hak-hak anak untuk berkembang—termasuk untuk mendapatkan pendidikan sebagai sarana mendapatkan edukasi bagi perkembangannya.

Beberapa komentar terhadap pemberitaan tentang upaya si anak untuk pindah sekolah dalam hal tertentu terkesan tidak baik bagi psikologi si anak. Berita-berita dan komentar tentang bagaimana sebuah sekolah di kabupaten lain belum berani menerima si anak (inisial NK) tampaknya kurang tepat.

Komentar yang seringkali kita dengar terkait kasus seperti ini—baik di Trenggalek maupun tempat lainnya—biasanya adalah: “Nggak usah sekolah, wong tuane wae kon nyekolahi!” (Tidak usah sekolah, biar diajar sama orang tuanya saja!).

Pendapat dan pernyataan itu memang merupakan luapan emosi sebagian netizen. Tapi sebenarnya kalau hal itu diketahui oleh si anak, maka anak akan merasa terbully.

Itu seperti pengucilan sosial. Bisa jadi ini yang disebut ‘Cyberbullying’, yaitu perilaku di media sosial yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran.

Di antara tindakan ‘cyberbullying’ adalah menulis kata-kata mempermalukan dan menyakitkan di postingan atau kolom komentar.

Makanya, yang perlu kita perhatikan adalah bahwa dalam kasus-kasus yang melibatkan anak, baik sebagai pelaku, korban, atau sekadar pihak terkait, kita harus hati-hati bersikap dan membuat pernyataan. Termasuk  hati-hati memberikan komentar terhadap si anak atau yang bisa dibaca dan didengar si anak.   

Dilihat dari kronologis kejadian kekerasan di SMPN 1 Trenggalek ini, anak bukan pelaku kekerasan. Sikap dan tindakan si anak tidak melanggar hukum. Tindakannya bermain smartphone memang membuat Pak Eko (guru korban kekerasan) harus mengambil tindakan sesuai aturan.

Fakta bahwa si anak kemudian lapor pihak keluarga lalu ada oknum dari pihak keluarga (Awang) yang memperlakukan Pak Eko dengan tindakan yang melanggar hukum, hal itu harus kita lihat sebagai bukan sebagai penyebab tindakan kekerasan.

Pelanggaran hukum berupa kekerasan fisik dan verbal dilakukan Awang. Dia salah karena merugikan pak Eko. Si Awang sendirilah yang harus kita lihat sebagai penyebab kejahatannya.

Sentimen Publik dan Bullying Lewat Medsos

Seandainya ketika mendapatkan laporan NK si Awang hanya marah saja, hal itu tidak salah—tidak melanggar hukum. Sayangnya dia mendatangi Pak Eko ke rumahnya dan melakukan hal-hal yang tidak wajar, tidak manusiawi, tidak ber-etika, pun juga menabrak aturan-aturan hukum.

Seandainya ia marah saja dan mempunyai prasangka saja dalam pikirannya, lalu mencoba berkomunikasi baik-baik, cek dan ricek, menggali bagaimana kejadiannya, lalu kalau memang pihaknya dirugikan minta ganti rugi, tentu ia tak akan masuk tahanan.

Ide dan perasaan tidak bisa dihukum. Prasangka dalam pikiran, kemarahan dalam perasaan, tak bisa dihukum. Yang bisa dihukum adalah cara bertindak meluapkan perasaan dan menyampaikan ide atau pikirannya itu.

Menulis atau bicara bisa melanggar hukum jika itu bernuansa mengancam, fitnah atau hoax, ujaran kebencian. Demikian juga tindakan akan bisa melanggar hukum jika menyakiti dan merugikan orang lain (mencuri, membunuh, menganiaya, dan lain-lain).

Di media cetak, media online dan media sosial (IG, FB, Tiktok) tentu kita melihat dan membaca komentar-komentar warga atau netizen terhadap kedua pihak, baik korban kekerasan maupun pihak keluarga pelaku kekerasan.

Tentu saja kita harus hati-hati dalam berkomentar. Komentar berupa kata-kata juga bisa menambah daftar kekerasan yang dampaknya juga tidak baik. Apalagi jika komentar ditujukan pada si anak dan diketahui si anak.

Komentar yang ditujukan pada si Awang selaku pelaku kekerasan adalah yang paling banyak kita lihat. Ada nada hujatan dan luapan kemarahan netizen terhadapnya.

Ada yang menganggap hal itu wajar sebagai suatu luapan kemarahan. Hal itu bisa dianggap sebagai tanda bahwa publik kita memang tidak suka pada tindakan jahat, kasar, sombong, menghina.

Publik pun juga penasaran sebenarnya siapa dirinya kok bisa senekad itu melakukan sesuatu. Siapakah dia, public bertanya.

Keingintahuan publik pun membuat media melakukan investigasi lalu menyuguhkan liputan dan berita tentang latarbelakang si pelaku kekerasan—juga si anak, NK. Berita-berita yang dibuat para jurnalis dan konten kreator menyuguhkan bagaimana si anak (NK) dan pelaku (Awang) adalah orang-orang yang punya saudara dari keluarga kaya dan punya jabatan. 

Bahkan perilaku si anak di sekolah sebelum kejadian itu juga diliput media—yang sayangnya sumber beritanya sepihak dari pihak sekolah (kepala sekolah yang juga mendapatkan cerita dari guru-guru).

Padahal apapun kondisi anak, entah perilaku atau daya intelektualitasnya, tidak perlu dipersalahkan atau direndahkan karena memang kondisi anak menjadi bagian dari upaya (lembaga dan pelaku) pendidikan untuk terus mengolah dan memperbaikinya.

Sentimen publik pun terus mengarah pada sentimen terhadap pelaku, si anak, dan keluarga—terutama informasi yang dikaitkan dengan keberadaan saudara dan  keluarga yang jadi pejabat (anggota DPRD dan Kepala Desa).

Kebetulan sentimen publik masih belum bisa beranjak dari peristiwa Agustus lalu yang  merupakan momen naiknya sentimen terhadap elit politik, terutama anggota DPR RI yang menaikkan kesejahteraan sedemikian tinggi. Hingga kemudian memicu demonstrasi di berbagai kota yang disampaikan dengan kemarahan, bahkan diiringi tindakan anarkis. 

Bisa dikatakan, sejak saat itu masyarakat Indonesia semakin tidak suka pada pejabat dan elit-elit yang memanfaatkan kekuasaan politik untuk tujuan kepentingan pribadi. Apalagi ketika beberapa sosok anggota DPR RI mengomentari balik kritik netizen, hal itu dicatat sebagi kesombongan yang memuakkan.

Kaum elit politik kemudian dicatat cenderung sombong dan mentang-mentang punya kekuasaan, tak mau diingatkan, bahkan membalas kritik masyarakat dengan ucapan-ucapan sombong.

Perasaan ini tampaknya juga memicu kenapa pelaku kekerasan yang sudah masuk tahanan dari keluarga pejabat di Trenggalek ini mendapatkan sentimen negatif dan bully di media sosial. 

Lalu apakah si anak (NK) juga harus ikut mendapatkan Bully

Nah, inilah yang harus kita perhatikan. Seharusnya kita memperlakukan si anak secara berbeda. Kenapa berbeda? Karena anak ya anak, bukan orang dewasa. Anak butuh perhatian khusus. Tidak bisa kita samakan perlakuannya dengan orang dewasa.

Yang harus kita sadari, anak bukan untuk disentimeni, tapi ditumbuhkembangkan. Dan untuk bisa tumbuh-kembang dengan baik, ia butuh perlindungan jika ada hal-hal yang menghambat atau mengancam perkembangannya.

Hak Anak untuk Berkembang

Siswi NK yang menjadi pihak yang terkait dengan kekerasan terhadap guru di SMPN 1 Trenggalek ini harus kita lihat sebagai seorang anak sebagaimana kita melihat anak-anak yang kita harapkan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Kalau dia misalnya punya kakak atau keluarga yang kaya raya dan punya jabatan atau kekuasaan, si anak ini tetap harus kita pahami sebagai anak yang tidak boleh disalahkan di mana ia lahir.

Justru kalau latar belakang keluarga membuat anak tumbuh-kembang kurang baik, apakah sombong atau rendah diri, apakah ‘hyper-active’ atau asosial, apakah cerdas ataukah intelektualitasnya rendah, justru itu menjadi kondisi yang harus kita ubah atau tangani.

Jadi tugas kita semua adalah menumbuh-kembangkan anak agar mereka jadi manusia yang lebih baik, terlepas dari apa dan bagaimana pun latar belakang agama, suku, ras, keluarga, status sosial, dan lain-lain.

Ketika misalnya ada kabar bahwa si anak kesulitan mencari sekolah lepas dari apapun penyebabnya, sepanjang kita tahu bahwa yang terbaik bagi anak itu adalah terus sekolah, apalagi si anak sendiri ingin sekolah, justru pihak-pihak berwenang yang punya tugas membuat anak terlindungi haknya harus mencarikan ia sekolah—mengatasi hambatan-hambatan agar ia mendapatkan sekolah sesegera mungkin.

Tiap orang tidak pernah bisa memilih di mana ia akan lahir. Dia juga tidak tahu akan lahir dari ayah-ibu atau keluarga mana. Ia adalah anak-anak dunia, anak-anak jagat raya, yang sarana lahir ke dunia bisa lewat mana saja.

Tidak salah ia lahir sebagai anak (yang menjadi anak, adhik, keponakan, cucu)  dari anggota DPRD atau punya hubungan dengan pejabat, misal kepala desa. Tidak salah ia seperti itu. 

Bahkan kalau kita adalah orang yang betul-betul paham tugas Negara, Negara tidak pernah melihat anak siapakah yang harus dilindungi dan dijamin haknya untuk mendapatkan pendidikan—sebagaimana amanat Negara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang artinya punya tugas mencerdaskan rakyatnya, terutama anak-anak kita.

Setiap anak yang lahir, dari latar belakang apa saja, adalah anak kita. Atau bahkan ia bukan anak kita secara pribadi, ia adalah anak dunia.

Mari kita simak, puisi Kahlil Gibran tentang anak berikut ini:

“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri

Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu

Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu

Karena mereka memiliki ikiran mereka sendiri

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,

Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu

Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan

Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh

Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan

Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.”

 

Penulis: Nurani Soyomukti, Ketua Komunitas Literasi QLC (Quantum Litera Center), santri di Pasca-Sarjana Akidah Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Satu Tulungagung. Pernah turut mendirikan Lembaga Perlndungan Anak (LPA) Trenggalek.

Tombol Google News

Tags:

Prinsip Perlindungan anak kekerasan