KETIK, HALMAHERA SELATAN – “Putusan pengadilan tidak otomatis melarang pejabat pemerintahan mengeluarkan keputusan baru, sepanjang didasarkan pada fakta hukum baru atau kebutuhan administratif yang berbeda,” jelas Risno N. Laumara, S.H., Kamis 18 September 2025.
Pernyataan praktisi hukum ini hadir di tengah polemik penerbitan Surat Keputusan (SK) Bupati Halmahera Selatan tentang pengangkatan empat kepala desa definitif.
Sebagian kalangan menilai SK tersebut bertentangan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang sebelumnya membatalkan hasil pemilihan kepala desa tahun 2022.
Risno menegaskan, putusan PTUN memang final dan mengikat, tetapi sifatnya terbatas hanya pada objek sengketa yang diputus. Karena itu, keputusan baru yang lahir dari dasar hukum atau kebutuhan berbeda tetap sah secara aturan.
Ia menjelaskan, kewenangan Bupati dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala desa bersumber langsung dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tepatnya Pasal 26 dan Pasal 34. Dengan dasar tersebut, langkah Bupati tetap berada dalam jalur kewenangan yang benar.
Risno juga menilai keputusan itu selaras dengan asas kepentingan umum. Menurutnya, menunda pengangkatan kepala desa hanya akan memperpanjang ketidakpastian di masyarakat.
“Menunda pengangkatan hanya akan memperpanjang ketidakpastian dan menimbulkan keresahan masyarakat desa. Justru langkah Bupati dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan masyarakat luas,” terangnya.
Namun, ia tetap mengingatkan bahwa setiap keputusan pemerintah daerah dapat diuji melalui jalur hukum. Mekanisme itu menjadi bagian dari sistem kontrol dalam negara hukum.
“Penerbitan SK Bupati Halmahera Selatan mengenai pengangkatan empat kepala desa tidak bisa serta-merta dianggap ilegal. Justru ada dasar hukum yang cukup kuat melalui kewenangan Atributif. Jika ada pihak yang merasa dirugikan, jalur hukum tetap terbuka. Ubi jus ibi remedium, di mana ada hak, di situ ada upaya hukum,” tutup Risno.