Perjuangan Petani Garam Osowilangun Surabaya Hadapi Kemarau Basah, Selalu Waspada Perubahan Musim

15 Oktober 2025 21:35 15 Okt 2025 21:35

Thumbnail Perjuangan Petani Garam Osowilangun Surabaya Hadapi Kemarau Basah, Selalu Waspada Perubahan Musim
Mukawi dan Sumawiyah sedang memasukkan hasil memanen garam ke dalam karung berwarna biru. (Foto: Fitra/Ketik.com)

KETIK, SURABAYA – Panas kering dengan angin kencang menghempaskan butiran debu kecil ke udara si kawasan Tambak Garam Osowilangun Surabaya. Debu-debu bercampur dengan karbon monoksida hasil pembakaran kendaraan bermotor membuat dada semakin sesak.

Kondisi ini tak dihiraukan oleh Mukawi dan Sumawiyah. Keduanya adalah seorang petani garam. Dengan cucuran keringat deras dari dahi hingga membasahi seluruh kaus yang dikenakan, mereka tetap fokus melakukan pekerjaannya.

Siang itu di kawasan Tambak Osowilangun, Surabaya, pasangan suami istri ini dengan cekatan mengumpulkan garam yang baru saja dipanen untuk dimasukkan ke dalam karung-karung berwarna biru.

Mereka terlihat kompak memasukkan tumpukan garam berwarna putih ke karung berwarna biru. Dengan teliti, baik Mukawi dan Sumawiyah memperhatikan masing-masing karung. Khawatir apabila robek.

Bagi Mukawi, kulit terbakar sinar matahari sudah biasa dirasakan. Sebab, dirinya sudah menjadi petani garam sejak kecil. Mengikuti jejak orang tua yang juga seorang petani garam.

Dalam satu kesempatan, ketika beristirahat. Mukawi dan Sumawiyah menceritakan suka duka menjadi petani garam selalu waspada dengan perubahan cuaca, terlebih seperti saat ini.

Menurut Mukawi, Surabaya sekarang masuk musim kemarau basah. Dimana kondisi ini menjadi dilema tersendiri baginya, seorang petani garam.

"Kalau hujan saat proses buat garam. Garamnya langsung rusak. Harusnya bisa panen, malah hilang semua," katanya.

Sebaliknya, apabila terjadi kemarau pendek membuat harga garam menjadi naik di pasaran.

“Kalau stok sedikit, harga bisa naik. Tapi kalau kemarau panjang, garam banyak, harga malah turun,” lanjut Mukawi.

Dalam sehari, Mukawi dan Sumawiyah mengerjakan enam petak tambak milik orang lain. Hasil panen garam, dibagi dengan sistem satu banding dua. Dimana satu bagian untuk petani, dua bagian untuk pemilik lahan.

"Kalau nanti di akhir musim bisa kumpul empat ribu sampai lima ribu karung, kami dapat sepertiganya. Nanti dipotong dari pinjaman biaya hidup yang kami terima setiap minggu dari pemilik lahan," tutur petani garam asal Sumenep itu. (*)

Tombol Google News

Tags:

Petani Garam kemarau Surabaya garam petani garam Surabaya Tambak Garam