KETIK, MALANG – Tragedi Kanjuruhan Malang yang menewaskan 135 orang genap berusia 3 tahun. Tragedi terbesar dalam sejarah sepakbola Indonesia masih membekas di hati masyarakat Malang, terutama bagi mereka yang keluarganya menjadi korban meninggal dunia dan luka-luka, pasca laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya.
Peringatan pun digelar saat tiga tahun Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2025. Serangkaian acara digelar baik oleh manajemen Arema FC dan keluarga korban yang diadakan di kantor manajemen Arema FC, serta di Stadion Kanjuruhan Malang, lokasi kejadian.
Di Stadion Kanjuruhan, Malang, ribuan orang silih berganti berdoa di Pintu 13 yang dijadikan monumen peringatan. Di sisi selatan stadion itu, area khusus yang disiapkan pemerintah melalui pemenang proyek perbaikan Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, memang sengaja diperuntukkan untuk berdoa.
Di tahun ketiga ini, area sekitar lokasi paling banyak korban berjatuhan itu pun sudah ditata dan jadi lebih rapi. Tangga dan pintu 13, dengan bunga dan aroma minyak wangi, serta beberapa bagian asli saksi bisu tragedi itu masih dipertahankan.
Tokoh ulama berdoa di momen peringatan 3 tahun Tragedi Kanjuruhan (Foto: Aris/Ketik)
Lokasi itu menjadi tempat berdoa yang kelak juga akan dijadikan museum peringatan. Terlihat ratusan orang silih berganti berdoa pada malam jelang momen peringatan Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2025 di Stadion Kanjuruhan. Aremania, keluarga korban, dan elemen masyarakat Malang, termasuk para tokoh agama berdoa di Pintu 13.
Tak sedikit aura kesedihan masih terasa di wajah mereka. Beberapa orang bahkan tak sanggup meneteskan air mata merasakan kesedihan ditinggal sanak keluarga di peristiwa memilu
Nuri Hidayat salah satu keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mengatakan, peringatan tiga tahun tragedi ini menjadi pengingat bagi setiap manusia di Indonesia, terutama insan persepakbolaan agar sama-sama belajar supaya tak ada lagi kejadian serupa di kemudian hari.
"Kegiatan doa ini untuk merawat ingatan, agar tidak dilupakan, dengan tidak dilupakan, kami berharap tidak akan terjadi kejadian Kanjuruhan lain di kemudian hari," ucap Nuri Hidayat pada Rabu malam.
Aremania dan elemen masyarakat Malang berdoa di Gate 13 Stadion Kanjuruhan (Foto: Aris/Ketik)
Tiga tahun bukanlah hal mudah bagi Nuri Hidayat yang kehilangan keponakannya Jovan Revallino. Rasa luka dan tidak terima di hati, terlebih berkaitan hubungan sebagai sesama manusia yang menyebabkan kematian Jovan masih ia rasakan. Apalagi masih ada beberapa aktor yang belum tersentuh hukum sama sekali, meskipun sudah ada lima orang terdakwa yang sudah diputuskan bersalah dan dijatuhi vonis.
"Secara hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan) kami ikhlas dan hablumminanas kami masih dongkol. Jadi Kalau bicara menuntut keadilan, kami belum dapat tapi kami tetap berjuang," ujarnya.
Diakuinya hingga kini masih ada beberapa keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang masih berjuang mencari keadilan dengan menempuh jalur hukum. Laporan ke Mabes Polri, terkait banding dari laporan sebelumnya juga masih dikawal, meskipun sejauh ini prosesnya belum diketahui sampai mana.
"Dari beberapa kita melalui tim advokasi mengajukan banding ke Mabes Polri. Terus kita ajukan audiensi dengan Komisi III DPR RI, kami sudah berkirim surat lagi, ada balasan untuk meminta audiensi orang tua korban, nanti akan diagendakan," tuturnya.
Sementara itu, pendamping hukum keluarga korban Tragedi Kanjuruhan Daniel Siagian mengakui, ada 8 orang dari perwakilan keluarga korban yang kembali mendatangi Bareskrim Mabes Polri untuk menagih progres penanganan hukum laporan yang dilayangkan sejak September 2023.
"Kami hari di Jakarta untuk ke Mabes Polri, karena kita membuat laporan di Bareskrim Polri tapi sampai saat ini laporan kami seakan mandek di meja," ujar Daniel Siagian, secara terpisah melalui sambungan telepon.
Ia bersama Koalisi Masyarakat Sipil yang mendampingi secara hukum keluarga korban Tragedi Kanjuruhan juga mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), untuk menanyakan dan meminta mereka meninjau ulang dugaan pelanggaran HAM berat. Apalagi ini juga momen peringatan tiga tahun tragedi yang akan terus dikenang.
"Karena di level tertinggi belum tersentuh sama sekali baik PSSI maupun kepolisian, yang dihukum sejauh ini hanya level terbawah dan bukan yang berperan pengendalian atau strategis," tegasnya.
Ketidakberdayaan negara dalam menempatkan Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat tercermin dari hasil restitusi, atau pembayaran ganti rugi oleh pelaku atau pihak ketiga. Hal ini membuat pembayaran restitusi dinilainya sangat kecil dan tidak layak.
"Itu merendahkan harkat dan martabat korban. Hasil restitusi sangat menghina fakta-fakta, terutama tidak ada pertimbangan pelanggaran HAM," tandasnya. (*)