KETIK, BLITAR – Keindahan Pantai Pasir Putih Pasetran Gondo Mayit di Desa Tambak, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, terusik isu panas mengenai dugaan praktik jual beli lahan di kawasan sempadan pantai. Praktik ini dinilai melanggar undang-undang karena kawasan sempadan pantai adalah wilayah yang dilindungi.
Isu ini menguat setelah muncul pembangunan plengsengan bebatuan di sisi timur pantai. Proyek ini memicu kecurigaan publik mengenai izin pembangunan dan dugaan adanya transaksi lahan di balik proyek tersebut.
Menanggapi kabar tersebut, Perhutani menegaskan larangan keras terhadap segala bentuk praktik jual beli lahan di kawasan hutan negara, termasuk di area Pantai Gondo Mayit.
“Di dalam kelola kawasan hutan itu, praktik jual beli atas lahan atau kebun, atau apapun di situ, tidak dibenarkan,” tegas Hermawan, H.S., Wakil Kepala/Kepala Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (KSKPH) Blitar, saat ditemui di kantornya, Selasa, 30 September 2025.
Hermawan menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan hutan negara hanya bisa dilakukan melalui pola kemitraan dan pemberdayaan masyarakat, bukan transaksi jual-beli. Ia menyebut bahwa di wilayah sempadan pantai tersebut telah ada pemegang izin Hutan Kemasyarakatan (HKM).
“Di wilayah sempadan Pantai Pasetran Gondo Mayit itu sudah ada pemegang izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) atas nama Kelompok Tani Hutan (KTH) Wismo Buwono. Mereka dapat izin dari kementerian, tapi bukan untuk diperdagangkan,” ujarnya.
Hermawan menambahkan bahwa kawasan hutan tidak boleh “dipatoki” secara pribadi.
“Itu hutan negara, bukan tanah perorangan. Kalau tanah pribadi silahkan, tapi kalau hutan negara tidak bisa. Jangan sampai kegiatan wisata merusak kelestarian,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, cerita yang beredar di masyarakat menguatkan adanya dugaan transaksi. Beberapa warga mengaku mendengar kabar bahwa pihak yang membangun plengsengan tersebut memang membeli lahan di sekitar lokasi.
“Saya dengar yang bangun plengsengan ini memang beli tanah di sini, Pak. Tapi siapa yang menjual, saya kurang tahu. Katanya orang kaya yang kerja di luar negeri,” ungkap seorang warga yang enggan namanya ditulis.
Namun, pengakuan tersebut diragukan warga lain.
“Katanya itu bukan jual beli, tapi dipisah dengan sungai atau muara. Tapi kok ada yang ngaku-ngaku punya tanah di sempadan pantai? Apa ada izinnya?” ucapnya penuh heran.
Sementara itu, Kepala Desa Tambakrejo, Surani, membantah mengetahui adanya transaksi jual beli lahan tersebut. Ia justru menyatakan pihak desa sempat menegur pembangunan plengsengan tersebut.
“Kami tidak tahu menahu soal jual beli itu. Saat ada pembangunan plengsengan, desa sudah menegur,” kata Surani saat dikonfirmasi.
Kabar miring ini juga mengundang perhatian kalangan akademisi. Setya Nugroho, pemerhati lingkungan dari Universitas Brawijaya, menilai jika isu jual beli lahan benar terjadi, maka kasus ini bisa menjadi pintu masuk praktik mafia tanah di kawasan pesisir.
“Kalau isu ini benar adanya, aparat penegak hukum dan dinas terkait wajib turun tangan. Kawasan pantai itu ruang publik, tidak bisa seenaknya diperjualbelikan. Itu jelas pelanggaran hukum,” tegasnya.
Menurutnya, pelanggaran semacam ini bukan sekadar urusan administrasi.
“Ini perampasan hak publik atas ruang terbuka yang seharusnya dijaga bersama,” tutupnya. (*)