KETIK, BLITAR – Kasus pengembalian merek dagang yang sebelumnya telah dihapus dari daftar resmi, kini menjadi sorotan tajam Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI). Ketua Umum DPP IPHI, Rahmat Santoso menyebut kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan efek domino terhadap ekosistem ekonomi nasional, terutama bagi pengusaha, investor, dan pekerja yang menggantungkan hidup dari keberlangsungan produksi dan distribusi merek dagang sah.
“Ini bukan sekadar perkara administratif merek, tapi menyangkut kepastian hukum dan keberlanjutan investasi di Indonesia,” tegas Rahmat Santoso yang juga mantan Wabup Blitar tersebut, Rabu 12 November 2025.
Polemik ini mencuat setelah muncul kasus hukum yang tertuang dalam LP No. B/586/VIII/2024/SPKT Polda Bali tertanggal 16 Agustus 2025, yang berujung pada penyitaan ribuan barang dagangan dan penutupan sejumlah gerai di Bali.
Di baliknya, terdapat peristiwa hukum yang berakar dari putusan Mahkamah Agung tahun 2001, yang kala itu menghapus pendaftaran merek atas nama Mohindar H.B lantaran tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut sesuai prinsip non-use dalam Undang-Undang Merek.
Namun dua dekade kemudian, muncul klaim “pengembalian hak” atas merek yang sudah lama dihapus itu.
Padahal sejak tahun 2007, pengusaha Fong Felix telah mendaftarkan dan mengembangkan merek “POLO KIDS” secara resmi, lengkap dengan aktivitas investasi, produksi, hingga perluasan jaringan gerai di berbagai daerah.
“Ada hal yang janggal di sini, bagaimana mungkin hak atas merek yang telah dihapus dan tidak digunakan bisa tiba-tiba dihidupkan kembali?” tanya Rahmat penuh heran.
Rahmat menjelaskan, akibat klaim pengembalian merek itu, ribuan barang berlabel “POLO KIDS” disita aparat kepolisian sesuai surat dari Polda Bali. Bahkan sejumlah gerai usaha dipaksa tutup.
“Dampaknya langsung dirasakan pekerja dan investor. Ada potensi PHK, ada ketidakpastian hukum bagi mitra usaha. Ini tidak bisa dibiarkan,” ujarnya.
Menurut Rahmat, prinsip non-use dalam hukum merek nasional justru diciptakan untuk mencegah penimbunan hak dan memberikan ruang bagi pemakai produktif agar bisa berinovasi dan berkontribusi pada ekonomi.
“Ketika merek sudah dihapus karena tidak digunakan, maka hak itu gugur. Menghidupkannya kembali tanpa dasar hukum yang kuat adalah bentuk penyimpangan,” tegasnya.
Lebih jauh, Rahmat menduga ada sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang menyebabkan “hidupnya kembali” merek lama tersebut.
Menurutnya, jika memang ada putusan baru yang mengembalikan hak atas merek kepada pihak lama, publik berhak tahu dasar hukumnya.
“Kalau memang ada novum baru yang kuat, silakan dibuka ke publik. Tapi kalau tidak, berarti ini potensi ultra petita — putusan yang melebihi apa yang dimohonkan,” ujarnya.
“Apalagi jika nama atau etiket merek yang diklaim tidak sama persis dengan yang tercatat di sertifikat lama. Itu artinya ada masalah substansial,” tambahnya.
Sebagai kuasa hukum Fong Felix, Rahmat bersama rekannya Petrus Bala Pattyona menegaskan bahwa kliennya tidak akan tinggal diam.
Pihaknya menuntut penjelasan hukum secara terbuka atas beberapa hal pokok, antara lain:
1. Dasar hukum dan dokumen yang menjadi landasan pengembalian merek kepada Mohindar H.B.
2. Kesesuaian objek hak — apakah putusan baru tersebut melampaui apa yang tercatat dalam sertifikat terdahulu.
3. Penundaan penyidikan di Polda Bali hingga perkara di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (Nomor 114/Pdt.Sus-HKI/Merek/2025/PN.Jkt.Pst) berkekuatan hukum tetap (inkracht).
4. Langkah DJKI untuk memberikan penjelasan administratif dan perlindungan sementara bagi pemegang hak yang telah menggunakan merek secara produktif.
“Kami hanya menuntut keadilan yang proporsional. Jangan sampai pelaku usaha yang patuh aturan justru dikriminalisasi karena tafsir hukum yang tidak jelas,” ujar Rahmat.
Rahmat menegaskan, jika praktik pengembalian merek seperti ini dibiarkan, maka akan menciptakan preseden buruk bagi dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia.
“Bayangkan jika setiap merek yang sudah dihapus bisa dihidupkan kembali seenaknya, siapa yang berani berinvestasi? Siapa yang menjamin perlindungan bagi pemakai produktif?” tandasnya.
Menurutnya, hukum merek seharusnya menjamin kepastian, keadilan prosedural, dan perlindungan bagi pelaku usaha yang aktif dan produktif.
“Kalau dasar hukumnya lemah, ini berbahaya. Bukan hanya bagi klien kami, tapi juga bagi ratusan ribu pengusaha yang mengandalkan merek sah sebagai identitas bisnisnya,” tutup Rahmat. (*)
