Pelajaran Penting dari Warung Madura

27 November 2025 17:09 27 Nov 2025 17:09

Thumbnail Pelajaran Penting dari Warung Madura
Oleh: Abdul Mufid*

Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) diluncurkan pemerintah sebagai proyek besar untuk menghidupkan kembali ekonomi akar rumput. Dengan mandat mengelola unit-unit usaha strategis, dari gerai sembako hingga apotek, KDMP dimaksudkan menjadi simpul ekonomi desa yang modern dan terintegrasi. 

Namun, sebagaimana banyak program serupa di era sebelumnya, pertanyaan mendasarnya tetap sama, dapatkah koperasi yang lahir dari instruksi benar-benar tumbuh sebagai organisme ekonomi yang hidup?

Sejarah menunjukkan, kegagalan koperasi tidak semata disebabkan ketiadaan modal. Banyak koperasi runtuh karena kehilangan “jiwa” terlalu birokratis, terlalu administratif, dan terputus dari denyut sosial masyarakat.

Fahmid (2024) dalam Kompas mengingatkan bahwa kelemahan utama koperasi justru terletak pada minimnya internalisasi nilai koperasi di tingkat anggota. Sebuah koperasi yang tidak berakar pada partisipasi nyata hanya akan menjadi papan nama yang menyimpan formalitas, bukan kekuatan ekonomi.

Di sinilah menariknya menengok fenomena Warung Madura. Tanpa seremoni, tanpa banner pemberdayaan, tanpa program miliaran rupiah, warung-warung ini tumbuh di mana-mana, di kota, desa, bahkan di simpang yang sepi sekalipun. 

Mereka hadir tanpa retorika, namun bekerja dengan efisien dan bertahan menghadapi gempuran minimarket. Dalam banyak hal, Warung Madura justru menggambarkan apa yang sering luput dari program pemberdayaan yakni kehadiran yang organik, bukan instruktif.

Penelitian Sukidin dkk. (2025) menegaskan kekuatan Warung Madura bukan sekadar etos kerja. Fleksibilitas jam kerja, kedekatan sosial dengan pelanggan, dan kemampuan membaca kebutuhan yang tak terduga menjadi modal yang jauh lebih bernilai daripada dukungan modal besar. 

Tidak heran muncul satir populer, “warung Madura hanya tutup saat kiamat.” Berlebihan, tetapi mencerminkan persepsi publik terhadap ketahanan mereka.

Aspek lain yang jarang disorot adalah modal sosial. Izzati dkk. (2023) menunjukkan bahwa jejaring internal, tradisi saling percaya, serta budaya gotong royong menjadi bantalan yang membuat warung-warung ini tahan banting. 

Mereka tidak hanya menjual barang, tetapi menjual rasa aman bagi pelanggan. Disapa, dikenal, dilayani, kapan pun datang. Kepercayaan yang terbangun bertahun-tahun inilah yang tidak bisa dibeli oleh proyek pemerintah mana pun.

Lantas, apa yang bisa dipelajari KDMP dari Warung Madura?

Pertama, konsistensi adalah branding paling murah dan paling efektif. KDMP tidak harus buka 24 jam, tetapi harus dapat diandalkan. Buka sesuai jadwal, produk tersedia, dan layanan tidak berubah-ubah. Banyak koperasi gagal bukan karena kurang sumber daya, tetapi karena tidak disiplin dalam hal-hal dasar.

Kedua, koperasi harus melihat semua orang sebagai pelanggan, bukan sebatas anggota. Prinsip keanggotaan memang penting, tetapi praktik pelayanan tidak boleh eksklusif. Siapapun yang datang harus merasa diterima. Warung Madura tidak pernah membatasi pelanggan berdasarkan keanggotaan, dan justru di situlah mereka membangun loyalitas.

Ketiga, teknologi harus digunakan secara cerdas. Warung Madura bertahan dengan teknologi sederhana namun efisien. KDMP dengan sokongan kementerian dan BUMN seharusnya lebih piawai memanfaatkan digitalisasi mulai stok barang, sistem kasir, pemasaran produk lokal, hingga analitik kebutuhan desa. Digitalisasi bukan proyek, tetapi alat untuk efisiensi.

Keempat, bangun identitas yang otentik. Warung Madura membawa budaya kerja yang kuat, yang menjadi karakter khas mereka. KDMP juga perlu membangun identitasnya sendiri sesuai kepribadian desa. Identitas ini bukan seragam, melainkan hasil negosiasi nilai antara masyarakat dan koperasi itu sendiri.

Pada akhirnya, KDMP harus belajar bahwa sebuah koperasi tidak akan hidup hanya dengan uang dan aturan. Ia hidup melalui kepercayaan, kedekatan sosial, dan konsistensi. Tanpa ketiga hal itu, koperasi hanya menjadi bangunan dengan cat merah putih, kosong di dalam.

KDMP memang lahir dari kebijakan. Namun agar dapat bertahan, ia harus tumbuh menjadi bagian dari komunitas, persis seperti Warung Madura yang telah membuktikan bahwa keberlanjutan ekonomi bukan soal besarnya modal, melainkan kedalaman relasi sosial. Sebuah pelajaran yang semestinya tidak lagi diabaikan dalam desain program ekonomi desa.

*) Abdul Mufid merupakan Camat Tamanan, Kabupaten Bondowoso

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Abdul Mufid Warung Madura