Indonesia, negara yang kita cintai ini, didirikan di atas fondasi yang kokoh, yaitu Pancasila. Lima sila yang menjadi ideologi negara ini seharusnya menjadi kompas moral bagi setiap warga negara, khususnya para penyelenggara negara.
Namun, ironi pahit menghantui bangsa kita. Korupsi, seperti kanker ganas, terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, mengkhianati cita-cita luhur para pendiri bangsa dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Pancasila seolah hanya menjadi retorika kosong di tengah praktik korupsi yang merajalela.
Secara yuridis, korupsi merupakan pelanggaran terhadap berbagai undang-undang di Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatur tentang berbagai bentuk tindak pidana korupsi dan sanksi yang dapat dikenakan kepada para pelakunya.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Selain itu, Pasal 3 UU No. 31/1999 juga mengatur tentang penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara. Namun, meskipun hukum telah mengatur dengan jelas, praktik korupsi masih terus terjadi, bahkan semakin canggih dan terorganisir. Modus operandi korupsi pun semakin beragam, mulai dari suap, gratifikasi, pemerasan, hingga pencucian uang. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga merambah ke daerah-daerah, bahkan hingga ke tingkat desa.
Menurut Prof. Dr. Mahfud MD, seorang pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, “Korupsi di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sistemik dan membudaya. Ini bukan lagi sekadar masalah individu, tetapi sudah menjadi masalah sistem yang melibatkan banyak pihak. Untuk memberantas korupsi, kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi juga harus melakukan perubahan sistemik di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, hingga budaya.”
Prof. Mahfud MD juga menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi. “Masyarakat harus berani melaporkan praktik korupsi yang mereka ketahui. Jangan takut untuk menjadi whistleblower. Negara harus memberikan perlindungan kepada para whistleblower agar mereka tidak menjadi korban intimidasi atau kriminalisasi.”.
Untuk mengatasi masalah korupsi yang telah mengakar ini, diperlukan solusi yang komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
Penguatan Lembaga Anti Korupsi: KPK harus diberikan independensi dan kewenangan yang lebih besar untuk mengungkap dan menindak kasus korupsi tanpa intervensi dari pihak manapun. Revisi Undang-Undang KPK yang lalu telah melemahkan lembaga ini. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan independensi dan kewenangan KPK seperti semula. Selain itu, perlu juga ada peningkatan sumber daya manusia dan anggaran KPK agar lembaga ini dapat bekerja lebih efektif.
Reformasi Sistem Hukum: Sistem hukum harus direformasi agar lebih transparan, akuntabel, dan efektif dalam memberantas korupsi. Hal ini meliputi reformasi di bidang legislasi, yudikatif, dan penegakan hukum. Undang-undang yang tumpang tindih dan multitafsir harus disederhanakan. Proses peradilan harus dipercepat dan transparan. Hakim dan jaksa yang korup harus ditindak tegas.
Pendidikan Anti Korupsi: Pendidikan anti korupsi harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sejak dini untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab kepada generasi muda. Pendidikan anti korupsi tidak hanya berupa materi pelajaran, tetapi juga harus diimplementasikan dalam praktik sehari-hari di sekolah dan di lingkungan keluarga.
Partisipasi Masyarakat: Masyarakat harus didorong untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pemberantasan korupsi dengan melaporkan praktik korupsi yang mereka ketahui. Pemerintah harus menyediakan saluran pengaduan yang mudah diakses dan aman bagi masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berani melaporkan praktik korupsi.
Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara dan pelayanan publik. Anggaran negara harus dipublikasikan secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat. Proses pengadaan barang dan jasa harus dilakukan secara transparan dan kompetitif. Pelayanan publik harus dilakukan secara efisien, efektif, dan bebas dari pungutan liar.
Negara juga perlu ada perubahan budaya di masyarakat. Budaya permisif terhadap korupsi harus dihilangkan. Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa korupsi adalah kejahatan yang merugikan semua pihak. Oleh karena itu, setiap orang harus berperan aktif dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Korupsi adalah musuh bersama yang mengancam masa depan bangsa. Kita tidak boleh menyerah dan terus berjuang untuk memberantas korupsi. Dengan tekad yang kuat, kerja keras, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, kita dapat membebaskan diri dari jerat korupsi dan mengembalikan jati diri bangsa sebagai negara yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila.
Korupsi telah menggerogoti nilai-nilai Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia. Korupsi merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dan merusak moral serta etika bangsa. Untuk memberantas korupsi, diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan penguatan lembaga anti korupsi, reformasi sistem hukum, pendidikan anti korupsi, partisipasi masyarakat, serta transparansi dan akuntabilitas.
Dengan upaya bersama, kita dapat membebaskan diri dari jerat korupsi dan mengembalikan jati diri bangsa. Saatnya kita bertindak! Mari kita jadikan Indonesia negara yang bersih dari korupsi, negara yang adil, makmur, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.
*) Hesti Nabila merupakan mahasiswa UIN Raden Intan Lampung
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
