KETIK, JAKARTA – Resolusi tahun baru merupakan niat atau komitmen pribadi yang dibuat seseorang untuk melakukan perubahan positif, memperbaiki kualitas diri, atau mencapai target tertentu di awal tahun.
Tradisi ini ternyata sudah ada sejak lama. Catatan sejarah menunjukkan bahwa masyarakat mulai memikirkan resolusi tahun baru sejak ribuan tahun lalu.
Bangsa Babilonia dikenal sebagai peradaban pertama yang menerapkan resolusi tahun baru sekitar 4.000 tahun silam.
Pada masa itu, awal tahun dirayakan sekitar bulan Maret. Dalam perayaan tersebut, masyarakat Babilonia memahkotai raja baru atau memperbarui sumpah setia kepada raja yang sedang berkuasa. Selain itu, mereka juga membuat janji kepada Tuhan untuk melunasi utang serta mengembalikan barang yang dipinjam dari orang lain.
Ribuan tahun setelah tradisi tersebut muncul, Kaisar Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun baru sekitar 46 SM. Penetapan ini sekaligus menandai penamaan bulan pertama dalam kalender Romawi, Januari, yang diambil dari nama dewa Janus—dewa bermuka dua.
Dalam kepercayaan Romawi, Janus melambangkan kemampuan untuk menoleh ke masa lalu sekaligus menatap masa depan. Keyakinan ini mendorong masyarakat Romawi untuk mempersembahkan korban kepada para dewa serta membuat janji untuk menjalani perilaku yang lebih baik di tahun yang akan datang.
Beberapa puluh tahun kemudian, komunitas Kristen awal memaknai pergantian tahun sebagai momen refleksi diri. Tahun baru dijadikan waktu untuk merenungkan kesalahan di masa lalu sekaligus meneguhkan niat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Namun, pada tahun 1740, pendiri aliran Methodist, John Wesley, memperkenalkan tradisi Covenant Renewal Service atau kebaktian pembaruan perjanjian yang dilaksanakan pada malam pergantian tahun atau pada pagi hari di awal tahun baru.
Tradisi inilah yang kemudian memperluas praktik resolusi tahun baru di kalangan umat Kristen, hingga akhirnya berkembang dan dikenal secara luas di berbagai belahan dunia. (*)
