KETIK, MALANG – Fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terhadap penggunaan sound horeg ternyata belum sepenuhnya diindahkan masyarakat. Masih banyak ditemukan kegiatan yang menampilkan sound horeg di Malang Raya, terutama saat karnaval dan perayaan tertentu.
Menanggapi situasi ini, Direktur Pesantren Kampus Ainul Yaqin Universitas Islam Malang (Unisma), Taqiyuddin Alawi, memberikan pandangan Islam terkait dampak dan batasan alat hiburan yang menimbulkan kebisingan ekstrem tersebut.
Taqiyuddin menjelaskan, dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang menimbulkan mudharat atau dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, adalah dilarang. Ia menyoroti bagaimana penggunaan sound horeg kerap menyebabkan kerusakan pada infrastruktur seperti jalanan hingga gapura, serta mengganggu kenyamanan publik.
"Kalau seperti ini memberikan dampak mudharat, dalam Islam tidak boleh. Mungkin itu yang dimaksudkan oleh MUI bahwa itu (sound horeg) haram," ujar Taqiyuddin kepada Ketik, Rabu, 16 Juli 2025.
Ia menambahkan, Islam sebenarnya tidak melarang manusia untuk merasa senang. Namun, kesenangan tersebut harus tetap memperhatikan kebermanfaatan dan tidak menimbulkan gangguan bagi orang lain.
"Membaca Al-Qur'an kan bagus, tapi kalau dibaca dekat orang yang sedang istirahat dengan suara keras sehingga mengganggu, itupun hukumnya haram. Mengganggu orang lain dalam Islam tidak diperbolehkan. Masalah kesenangan ya boleh-boleh saja, selama tidak menimbulkan mudharat," tegasnya.
Taqiyuddin juga menyoroti bahwa dalam menetapkan keharaman sesuatu, konteks dan alasan menjadi sangat penting. Ia menjelaskan, jika sound horeg digunakan di lokasi yang tepat seperti lapangan besar dan tidak mengganggu penduduk sekitar, hal itu masih diperbolehkan.
"Misalnya tempatnya di lapangan, tidak mengganggu penduduk sekitar atau rumah penduduk sehingga suaranya hanya menggema di lapangan besar, ya tidak apa-apa," jelasnya.
Masyarakat, lanjut Taqiyuddin, perlu diberikan pengertian yang lebih komprehensif. Tujuannya agar dapat menerima keputusan tersebut meskipun bertentangan dengan kebiasaan.
"Masyarakat perlu diberi pengertian bahwa dalam konteks segala sesuatu, apapun bentuknya tidak ada hukum yang haram selama tidak mengganggu orang lain, atau hal-hal tersebut tidak menuju ke kemaksiatan," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menekankan peran vital pemerintah daerah dan aparat kepolisian dalam menindaklanjuti fatwa MUI ini. Menurutnya, fatwa keagamaan perlu didukung oleh regulasi yang mengikat agar implementasinya berjalan efektif.
"Untuk memperjelas fatwa tetap diperlukan regulasi dari pemerintah. Meskipun sudah ada fatwa MUI tapi kenyataannya polisi terus mengizinkan, ya akan terus terjadi. Izin pelaksanaan kan ke kepolisian, bukan MUI," pungkasnya.(*)