KETIK, SURABAYA – Fenomena "bediding" kini mulai mewarnai musim kemarau di Indonesia. Hal ini terkonfirmasi lewat unggahan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di akun Instagram resminya.
Dalam unggahan itu disebutkan, fenomena bediding adalah kejadian alamiah yang erat kaitannya dengan kondisi atmosfer yang khas pada musim kemarau. Disebutkan, bediding adalah fenomena yang bikin badan merinding.
Fenomena ini dijelaskan oleh Wahid Dianbudiyanto ST MSc, Pakar Teknik Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), sebagai penurunan tajam suhu udara di malam hari akibat hilangnya penutup awan selama musim kemarau.
“Permukaan bumi kehilangan panas lebih cepat karena tidak ada awan yang menahan radiasi balik ke atmosfer,” jelasnya.
Wahid Dianbudiyanto ST MSc, Pakar Teknik Lingkungan Universitas Airlangga. (Foto: Humas Unair)
Penyebab utama lainnya adalah hembusan angin muson timur dari Australia yang tengah mengalami musim dingin. Massa udara dingin dan kering masuk ke Indonesia bagian selatan akibat perbedaan tekanan antara benua Asia dan Australia.
“Inilah mengapa suhu malam hari bisa turun hingga 17 derajat Celcius, bahkan lebih rendah di dataran tinggi,” tambahnya.
Fenomena ini diperkirakan akan berlangsung hingga September, mengikuti pola puncak musim kemarau. Meski tampak alami, ia mengingatkan bahwa perubahan iklim global bisa memperparah siklus bediding di masa depan.
Penurunan suhu yang drastis tak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, tapi juga berdampak nyata.
“Suhu dingin dapat memicu penyakit pernapasan seperti flu dan asma. Bagi peternakan dan pertanian, suhu ini bisa mengganggu produktivitas dan menyebabkan kematian ternak,” ujarnya.
Meski belum ada laporan signifikan, Wahid menyebut risiko akan meningkat jika fenomena berlangsung lebih lama dari biasanya.
Ia menegaskan, masyarakat perlu mewaspadai efek jangka pendek yang sering diabaikan. “Bukan hanya tubuh yang menggigil, tapi juga ketahanan tubuh yang menurun," sebutnya.
Tak ada rekomendasi kebijakan khusus, namun edukasi publik perlu ditingkatkan.
“Minimal, masyarakat perlu rutin memantau prakiraan cuaca, memakai pakaian hangat saat malam, dan menjaga daya tahan tubuh lewat pola makan sehat dan vitamin,” imbaunya.
Fenomena mbediding bukan bencana, namun bila terus diabaikan bisa berubah jadi peringatan dari alam tentang pentingnya kesiapsiagaan lingkungan.(*)