Menguatkan Kehumasan dengan Pendekatan Empati: Menyapa Publik dengan Hati

9 Oktober 2025 15:01 9 Okt 2025 15:01

Thumbnail Menguatkan Kehumasan dengan Pendekatan Empati: Menyapa Publik dengan Hati
Oleh: I Gede Alfian Septamiarsa*

Di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas isu publik saat ini, humas pemerintah tidak bisa lagi hanya mengandalkan hard skill dalam menyusun pesan atau mengelola media. 

Dalam dinamika yang terjadi saat ini, pejabat publik memiliki peran vital sebagai penyambung suara atau perwakilan dari masyarakat. Namun, kerap kali masyarakat melayangkan protes terhadap gaya komunikasi pejabat publik yang dinilai kurang berempati. Perkataan yang dianggap sepele, justru bisa berubah menjadi masalah besar ketika disampaikan tanpa mempertimbangkan perasaan lawan bicara.

Maka yang dibutuhkan saat ini adalah pendekatan empati, kemampuan untuk memahami, merasakan, dan menyuarakan kembali aspirasi publik dengan penuh kepedulian.

Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, menyebut empati sebagai kemampuan untuk “masuk ke dunia orang lain seolah-olah kita orang tersebut, tanpa kehilangan identitas diri.” Dalam kehumasan, empati menjadi dasar two-way communication (Grunig & Hunt, 1984) yang menekankan pentingnya komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat.

Pendekatan empati memungkinkan humas tidak hanya menyampaikan pesan “top-down”, tetapi juga mendengarkan keresahan masyarakat, memahami konteks budaya, sosial, dan ekonomi mereka, serta menyajikan informasi dengan bahasa yang lebih membumi.

Komunikasi yang mengedepankan empati itu membawa manfaat yang mendalam dalam membentuk citra positif dan hubungan yang kuat antara organisasi dan publiknya. Mengapa demikian?

Seorang komunikator yang berempati tidak hanya sekadar memahami perasaan orang lain, melainkan juga mencoba merasakan situasi yang dialami, seakan-akan dirinya yang berada dalam kondisi tersebut. Empati itu menuntut adanya sensitivitas yang tinggi, sekaligus kesediaan untuk membayangkan dampak sebuah ucapan atau tindakan apabila berbalik kepada diri sendiri.

Dalam melakukan komunikasi antara pemerintah dan publik, empati menjadi syarat utama tercapainya komunikasi dua arah yang sejati. Empati yang dituangkan dalam narasi memungkinkan pesan pemerintah lebih mudah diterima publik, karena menyentuh logika dan emosi secara bersamaan.

Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan serta pandangan orang lain. Sebab masih banyak yang menganggap empati dan simpati sering kali sama, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda.

Empati berarti kemampuan untuk benar-benar menempatkan diri pada posisi orang lain. Sementara itu, simpati hanya sebatas rasa ikut merasakan kondisi orang lain, tanpa benar-benar menggantikan posisi tersebut.

Dengan kata lain, simpati hanya mengekspresikan kepedulian, sedangkan empati menghendaki keterlibatan emosional yang lebih dalam. Dalam konteks kehumasan, kemampuan ini memungkinkan seorang humas untuk lebih dekat dengan publiknya.

Praktik Modern Empati dalam Kehumasan

Pendekatan empati saat ini tidak hanya ditunjukkan melalui pernyataan atau konferensi pers, melainkan juga melalui teknologi digital. Beberapa implementasi modern meliputi:

Media Sosial Responsif

Akun resmi pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai corong informasi, melainkan ruang dialog. Menjawab komentar publik dengan bahasa yang ramah, cepat, dan personal menunjukkan rasa empatik dari institusi kita. 

Saat merespon, gunakan bahasa yang mencerminkan pemahaman dan perhatian. Jangan ragu untuk mengakui perasaan atau kekhawatiran yang mereka sampaikan.

Humas pemerintah juga harus mendengarkan dengan sepenuh hati, menjauhkan dari distraksi, dan berikan perhatian penuh pada pembicaraan. Ini menunjukkan bahwa kita sebagai humas menghargai pandangan dan perasaan orang lain.

Humanizing the Government

Kampanye digital yang mengangkat cerita nyata masyarakat. Misalnya testimoni penerima manfaat program pemerintah, lebih menyentuh publik dibanding sekadar data statistik.

Tidak semua orang memahami dan peduli dengan angka-angka statistik. Masyarakat lebih senang jika ada bukti konkrit bantuan diterima oleh penerimanya dengan baik. Ketika kita mampu memahami kebutuhan, keinginan, dan perasaan audiens kita, pesan yang disampaikan akan lebih relevan dan bermakna bagi mereka.

Visualisasi Empati

Infografis dengan bahasa sederhana, video pendek dengan narasi menyentuh, hingga podcast interaktif yang menghadirkan tokoh masyarakat, semuanya menunjukkan pemerintah hadir di ruang yang sama dengan publik.

Jangan menyertakan visual-visual yang dapat menyinggung perasaan, menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat.

Gunakan contoh dan narasi yang dapat menghubungkan dengan berbagai latar belakang dan pengalaman. Sehingga masyarakat merasa dekat.

Crisis Communication

Dalam situasi bencana atau krisis, empati harus lebih dominan. Kehadiran pemimpin di lokasi terdampak, penyampaian pesan dengan nada menenangkan, serta penyediaan kanal aduan yang responsif akan membangun kepercayaan publik.

Studi Kasus

Ketika pandemi COVID-19 melanda, banyak pemerintah daerah menggunakan pendekatan empati melalui narasi yang menekankan kebersamaan. Tidak sekadar memberi instruksi, tetapi juga menyuarakan kepedulian, bahkan menghadirkan layanan psikososial daring bagi masyarakat yang tertekan.

Di Jawa Timur misalnya, penyampaian bantuan sosial dilengkapi dengan testimoni warga. Narasi bahwa pemerintah “hadir di tengah kesulitan rakyat” memperkuat public trust.

Dengan dilibatkannya warga untuk memberikan testimoni, maka kita bisa mengetahui seberapa jauh manfaat yang diperoleh dari adanya bantuan sosial tersebut.

Humas yang hanya sibuk membuat siaran pers tanpa mendengarkan publik akan kehilangan relevansinya. Sebaliknya, humas yang menyapa dengan empati akan lebih dipercaya, karena mampu menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri.

Di era disrupsi digital, empati adalah currency baru dalam membangun kepercayaan. Humas bukan sekadar corong, melainkan jembatan hati antara pemerintah dan rakyat.

Memahami audiens dengan empati itu mampu membantu membangun hubungan yang lebih bermakna dan berkelanjutan. Dengan mendengarkan dan merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat, maka institusi, organisasi dapat merancang pesan yang memenuhi kebutuhan mereka, dan pada akhirnya, membentuk citra yang positif dan kredibel.

Ketika seseorang benar-benar memahami perspektif orang lain, mereka dapat menghindari asumsi yang keliru dan menciptakan dialog yang lebih produktif. Selain itu, empati juga membantu memperkuat hubungan interpersonal. 

Dalam hubungan pribadi, seperti keluarga dan persahabatan, empati menciptakan rasa saling pengertian dan mendukung. Dalam lingkungan kerja, empati memungkinkan pemimpin untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan tim mereka, menciptakan suasana kerja yang inklusif dan harmonis.

*) I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom merupakan seorang Pranata Humas Ahli Muda Biro Administrasi Pimpinan Setda Prov. Jatim

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini I Gede Alfian Septamiarsa Kehumasan