KETIK, SURABAYA – Menjelang perayaan Natal, sebuah tradisi unik terus hidup dan dijaga di sejumlah komunitas Kristiani di Indonesia, yakni Wayang Wahyu.
Pertunjukan wayang ini rutin digelar sebagai sarana pewartaan iman dengan menghadirkan kisah-kisah Alkitab, khususnya tentang kelahiran Yesus Kristus, yang dibalut dalam budaya Jawa yang sarat makna simbolik.
Pementasan Wayang Wahyu umumnya diadakan pada masa Natal (Desember) dan Paskah (Maret–April), dengan lokasi pertunjukan yang berpusat di gereja-gereja maupun sanggar seni di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Melalui alunan gamelan, dialog simbolik, serta tokoh-tokoh wayang bernuansa rohani, Wayang Wahyu menjadi jembatan antara iman dan budaya. Tradisi ini sekaligus menjadi pengingat bahwa pesan Natal dapat disampaikan dengan cara yang membumi, komunikatif, dan penuh kearifan lokal.
Wayang Wahyu merupakan bentuk seni pertunjukan wayang kulit yang memadukan tradisi Jawa dengan ajaran Katolik/Kristiani. Berbeda dengan wayang purwa yang mengangkat kisah Mahabharata atau Ramayana, Wayang Wahyu bersumber dari kisah-kisah Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Dilansir dari laman resmi Museum Sonobudoyo, gagasan Wayang Wahyu bermula pada Oktober 1957 di Surakarta. Saat itu, M.M. Atmowiyono yang merupakan seorang guru seni mementaskan lakon “Dawud Mendapat Wahyu Keraton”- mengisahkan Raja Daud.
Pementasan ini kemudian menginspirasi Bruder Timotheus L. Winjosoebroto, FIC, untuk mengembangkan konsep Wayang Wahyu secara lebih terstruktur.
Bersama M.M. Atmowiyono, Marosudirdjo, A. Suradi, dan Roosradi, Bruder Timotheus merumuskan konsep Wayang Wahyu secara formal. Atas saran Romo P.C. Soetopranoto, SJ, nama yang semula dikenal sebagai Wayang Katolik kemudian diubah menjadi Wayang Wahyu, di mana kata “wahyu” merujuk pada pesan atau firman Tuhan.
Pementasan Wayang Wahyu pertama kali digelar secara publik pada 2 Februari 1960 di Gedung Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri, Purbayan, Solo.
Pada awal perkembangannya, wayang dibuat dari karton atau kardus karena keterbatasan bahan dan alasan kepraktisan. Seiring waktu, bahan dasar wayang ditingkatkan menggunakan kulit kerbau agar lebih kuat dan tahan lama.
Kehadiran Wayang Wahyu sejak awal ditujukan sebagai sarana pewartaan agama sekaligus media pendidikan bagi masyarakat Jawa melalui pendekatan budaya. Hingga kini, Wayang Wahyu diakui sebagai warisan budaya yang unik, mencerminkan fleksibilitas budaya Jawa dalam menyerap dan menyampaikan nilai-nilai universal. Koleksi Wayang Wahyu bersejarah saat ini dapat dijumpai di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. (*)
