Beberapa hari terakhir, publik di Kota Probolinggo, dibikin bertanya-tanya. Wali kota, pimpinan DPRD, dan sejumlah kepala dinas dikabarkan diundang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka diminta datang ke Gedung Merah Putih di Jakarta. Resminya, undangan itu disebut sebagai bagian dari program “monitoring dan pencegahan tindak pidana korupsi”. Tapi, seperti banyak hal dalam politik dan birokrasi, peristiwa semacam ini jarang benar-benar sesederhana bunyinya.
Penulis pribadi percaya, dalam urusan yang melibatkan penyidik KPK, tidak ada yang namanya kebetulan. Semua berawal dari data, laporan, dan pola. Lembaga antirasuah itu tidak mungkin mendadak mengundang pemerintah daerah tanpa dasar. Mereka pasti telah mengamati, memantau, dan menandai sesuatu yang dirasa perlu dijelaskan lebih dalam.
Kalau mau jujur, undangan itu saja sudah cukup membuat suasana balai kota berubah. Sepekan penuh rapat koordinasi digelar, hampir semua kepala dinas dipanggil. Tidak ada yang ingin dianggap lalai. Mereka menyusun materi paparan dengan sangat hati-hati. Memeriksa data anggaran, dan menelusuri laporan kegiatan. Semua dilakukan agar saat tiba di hadapan pejabat KPK, mereka bisa menjawab dengan yakin.
Sayangnya dibalik semua persiapan itu, tersimpan kekhawatiran. Bukan karena merasa bersalah. Tetapi karena mereka tahu betul, KPK tidak pernah basa-basi. Sekali lembaga itu mencatat nama, berarti ada hal yang perlu diperhatikan.
KPK selama ini dikenal bukan sekadar penindak, tetapi juga pengawas. Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga ini aktif melakukan program Monitoring Center for Prevention (MCP). Sebuah sistem yang memantau tata kelola keuangan dan administrasi di seluruh daerah. Dari sanalah biasanya muncul peringatan. Jika suatu daerah terlihat lambat, tidak transparan, atau ada angka yang janggal, maka entitas ini akan memanggil untuk klarifikasi.
Jadi, meskipun undangan kepada Pemkot Probolinggo, dikatakan bagian dari “pencegahan”, tak salah bila publik menafsir lebih jauh. Sebab dalam dunia pengawasan, pencegahan itu bukan tanpa sebab. KPK tentu sudah punya catatan bisa jadi soal pengadaan barang dan jasa. Proyek infrastruktur, atau laporan keuangan yang belum sesuai target.
Kita tahu, tahun 2024 dan 2025 adalah masa-masa padat belanja daerah. Banyak proyek strategis berjalan bersamaan. Pembangunan trotoar, revitalisasi fasilitas umum, hingga program infrastruktur. Semua menelan anggaran puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Di tengah aktivitas semacam itu, kesalahan administratif kecil saja bisa menjadi pintu masuk penyelidikan.
Kalau begitu, apa salahnya KPK mengundang mereka untuk menjelaskan? Sama sekali tidak salah. Justru langkah itu perlu diapresiasi. Tapi yang patut dicermati adalah konteksnya. Rapat koordinasi yang dilakukan berhari-hari, hingga semua pejabat tinggi ikut hadir, menandakan bahwa undangan ini tidak sepele.
Banyak orang masih berpikir bahwa KPK bisa muncul tiba-tiba tanpa sebab. Padahal, mekanismenya sangat sistematis. Mereka memiliki jaringan data lintas lembaga. Dari Kementerian Keuangan, BPK, hingga LKPP. Setiap kali ada transaksi mencurigakan, laporan pengadaan tak sinkron, atau penyerapan anggaran yang janggal, sistem mereka segera memberi sinyal.
Jadi, jika Kota Probolinggo masuk urutan ke-29 dari sekian banyak daerah yang diundang ke Jakarta, itu bukan nomor acak. Angka itu menunjukkan urutan prioritas, siapa yang lebih dulu perlu “dilihat”.
Kita mungkin tidak sedang membicarakan kasus besar. Tetapi bukan berarti tak ada potensi masalah. Bisa saja KPK melihat ada pola belanja yang tidak wajar. Proyek yang berubah nilai di tengah jalan. Atau laporan kegiatan yang tidak sesuai realisasi lapangan. Sekecil apa pun temuan itu, bagi KPK, cukup untuk meminta penjelasan.
Bukankah ada sektor-sektor rawan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Misal dana hibah, perjalanan dinas (perdin), hingga belanja barang dan jasa (barjas). Lalu honor narasumber (narsum), hingga bantuan politik (banpol) dan dana Baznas sering kali menjadi sumber kebocoran anggaran. Di atas kertas terlihat wajar, tapi di lapangan penuh celah.
Semua itu mungkin tampak sepele. Namun bila dijumlah, potensi kerugian negara bisa mencapai puluhan bahkan ratusan miliar rupiah.
Karena itulah rakor KPK bukan sekadar tatap muka. Itu sinyal. Sinyal bahwa lembaga antikorupsi tengah memperhatikan. Mereka membaca gerak keuangan, mencermati proyek, dan menilai komitmen pemerintah daerah terhadap transparansi. Mereka mungkin tidak langsung menyebut nama atau angka, tapi bahasa tubuh mereka sudah cukup jelas: “Kami tahu apa yang terjadi.”
Dan disinilah point pentingnya. Undangan itu sendiri sudah menjadi bentuk penyelidikan awal. Mungkin belum dalam tahap hukum, tapi sudah memasuki tahap moral. Tahap dimana transparansi diuji.
Pemerintah Kota Probolinggo patut diapresiasi karena cepat tanggap. Mereka menggelar rapat koordinasi sepekan penuh. Melibatkan hampir semua OPD. Namun, jangan salah tafsir. Rakor semacam itu bukan sekadar latihan paparan. Rapat semacam itu biasanya menjadi ajang saling mengkonfirmasi data. Menutup lubang, dan memastikan tidak ada “angka liar” yang bisa menjadi bahan pertanyaan KPK.
Penulis pernah berbicara dengan mantan pejabat daerah. Ia pernah mengalami hal serupa. Katanya, undangan dari KPK itu seperti ujian. “Kita harus bisa menjelaskan setiap rupiah yang keluar,” katanya. Dan memang begitu adanya.
Itulah sebabnya rakor menjadi begitu penting. Tidak ada pejabat yang mau berangkat ke Jakarta, dengan data setengah matang. Dalam dunia birokrasi, satu tabel salah bisa membuat satu proyek disorot.
Namun yang lebih menarik lagi adalah mengapa semua ini baru ramai diperhatikan setelah berita muncul di media. Publik seolah baru sadar bahwa pengawasan bukan hanya soal kasus korupsi yang meledak. Tapi juga tentang sistem yang terus diperbaiki agar kasus itu tidak terjadi.
Sebagai warga Probolinggo, kita berhak tahu untuk apa wali kota dan jajarannya dipanggil. Transparansi bukan sekadar kewajiban moral. Tapi tanggung jawab politik. Ketika pejabat publik menggunakan uang rakyat, maka rakyat berhak mengetahui kemana uang itu mengalir.
Kita tidak menuduh siapa pun. Tapi kita juga tidak boleh menutup mata terhadap tanda-tanda. Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, banyak kasus besar bermula dari undangan kecil semacam ini. Hari ini mungkin disebut “evaluasi pencegahan”, tapi besok bisa berkembang menjadi “klarifikasi temuan”.
Sudah saatnya pejabat publik meninggalkan budaya “asal aman”. Jangan menunggu dipanggil baru bersih-bersih data. Pengawasan keuangan publik kini serba digital. Setiap transaksi, setiap perubahan anggaran, bahkan setiap tanda tangan elektronik bisa dilacak.
KPK tidak hanya bekerja dengan laporan masyarakat. Mereka juga bekerja dengan algoritma. Sistem mereka membaca pola transaksi. Membandingkan antar-daerah, dan menandai yang tak lazim. Maka, kalau undangan sudah datang, artinya ada lampu kuning yang menyala.
Banyak daerah yang pernah melalui momen seperti ini. Misalnya Kota Surakarta, beberapa tahun lalu. Saat KPK menyoroti proses pengadaan proyek jalan, pemerintahnya justru membuka semua data ke publik. Mereka memperbaiki sistem e-procurement, memperketat verifikasi. Dan hasilnya bukan hanya tidak jadi tersangkut masalah. Tapi justru mendapat apresiasi sebagai daerah dengan tingkat integritas tinggi.
Sekali lagi tidak ada yang kebetulan dalam urusan KPK. Lembaga itu tidak bergerak tanpa arah. Dan setiap langkahnya selalu berdasarkan data. Maka, ketika Pemerintah Kota Probolinggo, mendapat undangan resmi untuk paparan di Gedung Merah Putih, publik berhak membaca bahwa ada hal yang sedang dikaji lebih dalam.
Rakor yang digelar selama berhari-hari menunjukkan keseriusan mereka. Tapi juga menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kegiatan rutin. Ini adalah ujian transparansi, ujian akuntabilitas, dan ujian integritas.
Bagi masyarakat, inilah saatnya memperkuat partisipasi. Jangan hanya menjadi penonton. Tuntut keterbukaan, ikuti perkembangan, dan kawal bersama. Karena pada akhirnya, uang yang dipertanggungjawabkan di depan KPK adalah uang rakyat juga.
Dan bagi para pejabat yang hari ini duduk di ruang rapat, mungkin ada baiknya merenung sejenak. Di dunia birokrasi, terutama bila penyidik KPK sudah melirik, tak ada yang benar-benar kebetulan. Setiap langkah, setiap keputusan, setiap tanda tangan semuanya punya konsekuensi. Salam. (*)
*) Eko Hardianto merupakan Wartawn Ketik.com untuk Probolinggo Raya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
