KETIK, PROBOLINGGO – Lahan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Mayangan, di Kota Probolinggo, ternyata belum bersertifikat.
Sementara, aktivitas bisnis di pelabuhan milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur, tersebut telah berlangsung sejak tahun 2007.
Fakta tersebut dibenarkan Kepala Syahbandar PPP Mayangan, Nonot Wijayanto. Ia menyebutkan, upaya pengurusan sertifikat lahan telah dilakukan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, sejak 2007.
Atau persisnya saat era Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo. Namun sayang hingga kini sertifikat tersebut belum juga terbit.
“Kami di sini hanya bawahan. Diperintah mengoperasikan PPP Mayangan, ya kami siap saja. Perkara pelabuhan ini nanti ditutup sementara dan boleh beroperasi kembali setelah sertifikat terbit, ya kami juga siap,” ujar Nonot.
Sementara terkait kegiatan ekonomi di PPP Mayangan, lanjut Nonot, Pemprov Jatim, bahkan pada tahun 2024, menargetkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga Rp 5,1 miliar.
Ketiadaan sertifikat, jelas berdampak terhadap belum terbitnya Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Padahal, HPL merupakan syarat utama dalam pemanfaatan seluruh area pelabuhan secara legal.
Nonot, juga tidak menampik, hingga saat ini PPP Mayangan, belum memiliki HPL.
Ia menjelaskan, operasional dan berbagai kegiatan usaha berlangsung selama ini hanya berlandaskan pada kebijakan kepala daerah.
“Sementara kami mengoperasikan PPP Mayangan, berbekal rekomendasi. Ada yang dari wali kota, ada yang dari gubernur, lalu kami tindak lanjuti ke kementerian,” jelasnya.
Ia menambahkan, pendanaan operasional PPP Mayangan selama ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sumber ketik.com di kementerian perhubungan Jakarta, enggan disebut namanya mengatakan, bisnis di kawasan pelabuhan relevan dengan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
“Relevansi paling utama, UU ini menegaskan jika pelabuhan adalah kawasan tertentu dengan batas yang jelas. Pemanfaatan dan pengusahaan pelabuhan harus berbasis hak penguasaan wilayah yang sah,” katanya, dihubungi Jumat 19 Desember 2025.
Masih kata sumber dimaksud. Ada beberapa pasal kunci pada UU No 17 tahun 2008.
Yakni Pasal 1 angka 14 dan 15. Dimana pelabuhan dan kepelabuhanan mencakup wilayah daratan dan perairan.
Kemudian Pasal 85 menjelaskan jika pengusahaan pelabuhan hanya dapat dilakukan badan yang memiliki hak dan izin.
“Ada juga Pasal 90 tentang pemanfaatan fasilitas pelabuhan wajib memiliki dasar penguasaan wilayah pelabuhan,” jelasnya.
Menurutnya, implikasi untuk PPP Mayangan, jika tanpa sertifikat tanah dan HPL, adalah ketiadaan dasar penguasaan yang sah dan lemah secara hukum.
Selanjutnya aturan lain yang bisa menjadi rujukan adalah PP No. 61 Tahun 2009, tentang Kepelabuhanan.
“Relevansi langsung PP tersebut mengatur penetapan wilayah pelabuhan (DLKr dan DLKp). Antara lain mengatur pemanfaatan lahan dan fasilitas pelabuhan,” urainya.
“Pasal penting yakni Pasal 7 sampai pasal 11. Wilayah pelabuhan harus ditetapkan secara hukum.
Lalu Pasal 28 sampai Pasal 33 tentang pemanfaatan lahan pelabuhan harus berdasarkan hak penguasaan. Tanpa sertifikat wilayah darat pelabuhan belum tuntas secara hukum,” tegas sumber dimaksud.
Terakhir, lanjut sumber tadi, adalah PP No. 27 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Dimana Pelabuhan perikanan wajib memiliki wilayah kerja dan wilayah pengelolaan yang jelas.
“Pengelolaan pelabuhan perikanan harus taat pada tata ruang dan pertanahan. Hal itu menguatkan bahwa pelabuhan perikanan tidak dikecualikan dari otoritas kepelabuhanan nasional,” tutupnya.(*)
