KETIK, ACEH SINGKIL – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Cokro Prawiro Nusantoro (CPN) resmi mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Singkil untuk memanggil dan memeriksa aparatur Pemerintah Desa Lae Riman terkait dugaan penyimpangan Dana Desa (DD) tahun 2021–2025.
Desakan itu juga mencakup pengelolaan BUMDes serta pekerjaan normalisasi Desa Lae Riman tahun 2024.
Menurut Ketua LSM Cokro Prawiro Nusantoro (CPN) Aceh Singkil, Dalian Bancin, ada sejumlah indikasi yang dinilai perlu mendapat perhatian serius aparat penegak hukum. Ia menyebut beberapa kegiatan desa tidak berjalan semestinya, sementara anggaran tetap terserap dalam jumlah besar.
“Kami temukan dugaan kuat ketidaksesuaian penggunaan DD, termasuk pengelolaan BUMDes yang terindikasi tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, justru terkesan menguntungkan pihak tertentu," kata Dalian, Minggu, 23 November 2025.
Selain itu, kegiatan normalisasi di tahun 2024 juga perlu diperiksa, terutama terkait biaya sewa excavator yang mencapai Rp400 ribu per jam.
"Ini menimbulkan pertanyaan besar dan patut diduga ada unsur permainan,” ujar Dalian.
"Kami menemukan beberapa poin indikasi penyimpangan penggunaan DD 2021–2025 diduga tidak sesuai RAB dan dokumen perencanaan," lanjutnya.
BUMDes Lae Riman diduga tidak memberikan laporan pertanggungjawaban yang transparan dan akuntabel. Pekerjaan Normalisasi Tahun 2024, khususnya penggunaan excavator dengan biaya Rp400.000/jam, dinilai janggal dan perlu audit fisik maupun administrasi, sebutnya.
Dalian menyebut dugaan praktik KKN dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan desa makin menguat setelah pihaknya mengonfirmasi langsung kepada kepala desa, namun tak mendapat jawaban jelas dan justru terkesan saling lempar tanggung jawab dengan pihak konsultan perencanaan.
Ia meminta Kejari Aceh Singkil memanggil dan memeriksa oknum kades, perangkat desa, dan pihak terkait lainnya untuk mengaudit penggunaan Dana Desa dan laporan BUMDes, serta menelusuri alur kontrak kerja dan pembiayaan proyek normalisasi 2024.
“Kami berharap Kejari tidak ragu menindaklanjuti laporan masyarakat. Transparansi dana desa adalah hak publik, dan penegakan hukum harus berjalan tanpa pandang bulu,” tambahnya.
Dalian juga menegaskan dasar hukum terkait dugaan penyimpangan dana desa.
Pertama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dalam Pasal 26 mewajibkan kepala desa mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel, partisipatif, serta tertib dan disiplin anggaran. Sementara Pasal 48 dan 49 menegaskan bahwa pengelolaan keuangan harus sesuai APBDes dan setiap belanja wajib dipertanggungjawabkan.
Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang mengatur bahwa penggunaan dana desa harus berbasis dokumen perencanaan. Setiap kegiatan wajib disertai bukti fisik dan administrasi lengkap, sementara BUMDes harus memiliki laporan keuangan tahunan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dapat menjerat pihak yang berupaya memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3, termasuk penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintah.
Keempat, Peraturan LKPP dan Permen PU terkait standar harga sewa alat berat yang menjadi acuan untuk menilai kewajaran biaya sewa excavator, sehingga dugaan mark-up dapat diuji secara hukum, ungkapnya. (*)
