KETIK, PALEMBANG – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemotongan dana kegiatan sebesar 30 persen di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Senin 27 Oktober 2025.
Sidang yang dipimpin Majelis Hakim Idi’il Amin menghadirkan lima orang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri OKU Selatan, yakni Sumarno, Afrizal, Asnawi, M. Amin, dan Taufik yang di antaranya merupakan staf dan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Dispora OKU Selatan.
Dalam perkara ini, dua pejabat Dispora OKU Selatan, Abdi Irawan dan Deni Ahmad Rifai, didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama dua pihak lainnya hingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp913,8 juta. JPU menuding keduanya menggunakan modus laporan fiktif dalam sejumlah kegiatan pada Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Tahun Anggaran 2023.
Namun, dalam agenda pemeriksaan saksi kali ini, fakta berbeda muncul di ruang sidang. Kuasa hukum terdakwa Deni Ahmad Rifai, Sapriadi SH MH, menyebut seluruh keterangan saksi justru mengarah kepada pihak lain bernama Komaria, bukan kepada kliennya.
“Semua saksi menyebut bahwa yang mengatur fee 30 persen dan pemotongan 4 persen dari pihak ketiga adalah Komaria. Bahkan, penunjukan tim penyusun SPJ, penyusunan DPA, hingga pengaturan administrasi juga dilakukan oleh Komaria,” ungkap Sapriadi kepada Ketik.com usai sidang.
Menurutnya, dari dua kali persidangan dan belasan saksi yang sudah diperiksa, tidak satu pun menyebut bahwa Deni Ahmad Rifai memberikan perintah atau terlibat langsung dalam pengaturan fee. Beberapa saksi kunci, seperti Taufik, Afrizal, dan M. Amin, bahkan menegaskan bahwa mereka tidak pernah menerima instruksi dari Deni, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkait penyusunan SPJ.
"Isi BAP para saksi sudah kami bantah di persidangan karena tidak sesuai fakta. Semuanya menjelaskan tidak ada perintah dari Deni,” tegas Sapriadi.
Lebih jauh, Sapriadi menyoroti adanya ketimpangan hukum dalam penetapan tersangka kasus ini. Ia menilai bahwa jika merujuk pada Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Tipikor, maka seluruh pihak yang terlibat dalam pengaturan dan penerimaan fee seharusnya juga dimintai pertanggungjawaban.
“Komaria menerima keuntungan, para kabid lain juga mengembalikan uang, termasuk Kepala Dinas. Lalu, mengapa hanya klien kami dan Kepala Dinas yang dijadikan terdakwa? Kami mendukung penuh pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung, tapi jangan tebang pilih,” tegasnya lagi.
Dalam persidangan juga terungkap dugaan adanya praktik pemotongan 30 persen di hampir seluruh OPD OKU Selatan, dengan modus menyerupai “arisan” yang disetorkan ke BPKAD. “Informasinya, saat itu Kepala BPKAD masih Plt dan kini diduga menjabat sebagai Sekda OKU Selatan,” ujar Sapriadi.
Atas dasar itu, pihaknya mendesak Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, dan Kejaksaan Negeri OKU Selatan untuk membuka penyelidikan secara menyeluruh tanpa pandang bulu.
“Kami hanya meminta agar penegakan hukum dilakukan dengan hati nurani, bukan membabi buta. Kalau memang tidak terbukti bersalah, jangan dipaksakan. Hakim dan jaksa harus melihat fakta persidangan secara objektif,” pungkasnya.
Sidang akan kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan lanjutan terhadap saksi dan bukti tambahan dari pihak JPU.(*)
