Krisis yang Menguntungkan: Pelajaran dari Kasus Tumbler Tuku di KAI Commuter

1 Desember 2025 12:32 1 Des 2025 12:32

Thumbnail Krisis yang Menguntungkan: Pelajaran dari Kasus Tumbler Tuku di KAI Commuter
Oleh: Silvi Aris Arlinda*

Fenomena tumbler Tuku mendadak menjadi sorotan publik setelah seorang pengguna KAI Commuter, Anita, mengunggah pengalamannya kehilangan tumbler tersebut di kereta. Cerita sederhana itu berubah menjadi viral, memicu perdebatan tentang harga, kualitas, dan nilai barang. 

Publik membicarakannya, kreator konten menanggapi, dan media sosial menjadi arena diskusi yang tak berkesudahan. Namun menariknya, alih-alih merusak citra, kasus ini justru membawa dampak positif bagi brand Tuku.

Dalam dunia komunikasi krisis, kasus tumbler Anita ini adalah contoh nyata bahwa krisis tidak selalu berakhir sebagai ancaman. Terkadang, krisis menjadi katalis yang mendorong sebuah brand melesat lebih tinggi.

Krisis Tidak Selalu Berarti Kehancuran

Dalam literatur komunikasi, krisis didefinisikan sebagai situasi tak terduga yang berpotensi mengancam reputasi organisasi. Namun berbagai studi menunjukkan bahwa krisis juga dapat menjadi peluang.

W. Timothy Coombs dalam Situational Crisis Communication Theory (SCCT) menjelaskan bahwa tidak semua krisis memiliki tingkat tanggung jawab yang sama. Ketika publik tidak menilai brand sebagai pihak yang bersalah, krisis justru dapat memberikan ruang bagi simpati dan perhatian positif.

Kasus tumbler Anita termasuk dalam kategori low responsibility crisis. Tuku tidak melakukan kesalahan operasional atau pelanggaran etika. Krisis terjadi semata karena persepsi publik yang berkembang dari sebuah unggahan viral. Itu sebabnya, publik tidak memunculkan gelombang penolakan sebaliknya, banyak muncul rasa penasaran.

Krisis dan Dua Sisi Dampaknya bagi Brand

Setiap krisis memiliki dua wajah: merusak atau menguntungkan. Dampak negatif biasanya muncul ketika publik menilai brand buruk dalam menangani situasi. Namun dampak positif bisa muncul ketika krisis memberikan visibilitas besar, perhatian luas, atau kedekatan emosional dengan konsumen.

Dalam kasus tumbler Anita, isu awalnya bernada negative mulai dari pembicaraan harga hingga perbandingan kualitas. Namun diskusi tersebut justru memperluas jangkauan brand Tuku. Banyak orang yang sebelumnya tidak mengenal produk ini tiba-tiba ikut membaca, mencari tahu, bahkan membeli.

Di sinilah konsep no publicity is bad publicity menemukan relevansinya, meskipun tetap harus dipahami secara hati-hati. Krisis menciptakan ruang diskusi yang justru memperkuat eksistensi brand.

Efek Viral dan Peningkatan Brand Awareness

Efek viral dari cerita Anita membawa ledakan perhatian publik kepada tumbler Tuku. Publik membahasnya tanpa henti baik dalam bentuk komentar, meme, maupun video ulasan. Ini adalah bentuk earned media, yakni publisitas gratis yang terjadi karena percakapan publik, bukan karena kampanye berbayar.

Dalam pemasaran modern, brand awareness yang melejit seperti ini merupakan keuntungan besar. Orang mencari tahu, mengetik “tumbler Tuku” di mesin pencari, menonton ulasan, bahkan membeli hanya karena ingin tahu “barang apa sebenarnya yang viral itu.” Di era ekonomi perhatian, viralitas adalah mata uang yang sangat berharga.

Krisis ini, walaupun tak sengaja, telah mengangkat brand Tuku ke tingkat popularitas yang jauh lebih tinggi.

Namun Brand Tuku Masih Diam: Bentuk Kehati-hatian?

Sampai saat ini, brand Tuku belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait viralnya kasus tumbler Anita. Diamnya brand menimbulkan spekulasi. Apakah mereka sedang berhati-hati? Apakah mereka sedang memantau situasi? Atau apakah diam justru strategi?

Dalam komunikasi krisis, diam bukan berarti tidak bertindak. Coombs menjelaskan bahwa dalam krisis dengan risiko rendah, organisasi tidak selalu harus memberikan respons cepat.

Sedikit kesalahan kata dapat menjadi boomerang dan membalikkan opini publik yang sedang menghangat. Mungkin Tuku memahami bahwa percakapan publik sedang bergerak natural dan cenderung positif sehingga overreaction justru berbahaya. 

Diam sering kali adalah bentuk perhitungan matang, bukan kelalaian.

Penutup: Krisis sebagai Momentum Penguatan Brand

Kasus tumbler Anita di KAI Commuter menjadi pengingat bahwa krisis memiliki dinamika yang unik di era digital. Sesuatu yang tampak negatif pada awalnya bisa berubah menjadi peluang besar bagi brand. Perhatian publik yang luar biasa meningkatkan kesadaran merek, memperluas pasar, dan memperkuat posisi brand di benak konsumen.

Tentu, tidak semua krisis membawa hasil serupa. Namun kasus Tuku menunjukkan bahwa jika sebuah brand berada pada posisi yang tidak disalahkan, serta mampu menjaga diri untuk tidak tergesa-gesa merespons, maka krisis dapat berubah menjadi keuntungan strategis.

Pada akhirnya, krisis bukan hanya ujian bagi brand tetapi juga cermin bagaimana brand dipersepsikan publik. Dan dalam kasus Tumbler Tuku, krisis justru membawa mereka memasuki babak baru: lebih terkenal, lebih diperbincangkan, dan lebih relevan dalam lanskap digital.

*) Silvi Aris Arlinda, S.I.Kom., M.I.Kom merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini KAI Commuter Tumbler Tuku