Komnas Perempuan Sebut Budaya Patriarki Sumber Kekerasan Seksual Pada Perempuan, Kampus Diminta Jadi Garda Depan Perubahan

10 Oktober 2025 18:11 10 Okt 2025 18:11

Thumbnail Komnas Perempuan Sebut Budaya Patriarki Sumber Kekerasan Seksual Pada Perempuan, Kampus Diminta Jadi Garda Depan Perubahan
Ketua Komnas Perempuan Dr. Maria Ulfah saat memberikan kuliah umum di UTM. (Foto: Ismail Hasyim/Ketik)

KETIK, BANGKALAN – Ketua Komnas Perempuan Dr. Maria Ulfah Ansor menegaskan bahwa budaya patriarki masih menjadi akar utama maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia, termasuk di lingkungan pendidikan.

Hal ini disampaikan dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), di Universitas Trunojoyo Madura, Jumat 10 Oktober 2025.

Menurut Maria Ulfah, cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai kelas dua, dinilai membuat kekerasan dianggap sebagai hal lumrah dan seringkali dibiarkan.

“Cara pandangnya harus diubah bahwa perempuan itu juga manusia yang punya hak untuk dihargai, dihormati, dilindungi, dan dipenuhi hak-haknya. Mindset-nya yang harus diubah,” tegasnya.

Ia menekankan perlunya rest thinking, berfikir ulang dengan cara pandang baru, bahwa laki-laki dan perempuan setara di mata Tuhan. Meski dalam struktur jabatan perempuan kadang berada di posisi lebih rendah, bukan berarti boleh direndahkan.

Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, selama lima tahun terakhir ada 5.000 hingga 6.000 laporan kekerasan terhadap perempuan setiap tahun. Namun hanya hanya sekitar 30 persen kasus yang berhasil diselesaikan.

Penyebabnya beragam, mulai dari proses hukum yang lamban, pemeriksaan berulang yang melelahkan korban, hingga tekanan sosial yang membuat korban memilih mencabut laporan.

“Korban trauma, tapi dalam proses hukum dia harus berulang kali menceritakan kejadian. Ini memperlambat pemulihan dan seringkali membuat mereka mundur,” jelasnya.

Menanggapi kekerasan seksual di lingkungan kampus, Ketua Komnas Perempuan menila perubahan cara pandang harus dimulai dari dunia pendidikan.

“Ini budaya turun-temurun. Harus diintegrasikan ke dalam kurikulum. Di kampus, bisa dimasukkan ke MKDU atau disisipkan di seluruh mata kuliah. Pendidikan antikekerasan tidak boleh berdiri sendiri.”

Dengan begitu, kesadaran setara akan berujung pada perilaku yang menghargai martabat perempuan. 

Menanggapi pertanyaan mengenai kasus kekerasan seksual di Bangkalan yang melibatkan 8 pelaku terhadap dua anak perempuan dibawah umur, ia menyayangkan penanganannya yang terkesan lambat.

“Sangat disayangkan kalau baru ditangani setelah viral. Apalagi korbannya anak di bawah umur. Seharusnya jadi atensi sejak awal.”

Ia menegaskan, masyarakat juga harus aktif memantau proses hukum, tidak hanya menyerahkan pada lembaga negara.

Menurutnya, perlindungan korban bukan hanya tugas Komnas Perempuan atau polisi, tetapi butuh ekosistem bersama.

“Korban harus didampingi. Kalau laporan belum ditindaklanjuti, masyarakat bisa ikut mengawal. Polisi harus terbiasa tahu bahwa masyarakat ikut memantau.” tegasnya.

Ketua Komnas Perempuan mengajak seluruh elemen bangsa, terutama kampus dan aparat penegak hukum, untu tidak menunggu viral baru bertindak, melainkan membangun sistem yang proaktif melindungi perempuan sejak awal. (*)

Tombol Google News

Tags:

Kuliah Umum Komnas perempuan Stop kekerasan dilingkungan kampus