KETIK, BANDA ACEH – Polemik masuknya beras impor melalui jalur kawasan bebas Pelabuhan Sabang, Aceh, kembali mencuat dalam pemberitaan nasional. Namun bagi politisi PDI Perjuangan asal Aceh, Masady Manggeng, inti persoalan bukan sekadar soal beras, melainkan arah pemanfaatan kawasan bebas itu sendiri.
Ia menegaskan bahwa fasilitas seperti ini seharusnya digunakan untuk memasukkan alat-alat penunjang ekonomi, bukan barang konsumtif yang tidak memberi nilai tambah jangka panjang.
“Kawasan bebas itu peluang besar. Tapi kalau dipakai untuk memasukkan barang konsumtif, maka manfaatnya kecil. Yang paling tepat adalah menghadirkan alat produksi yang bisa membuat ekonomi rakyat semakin kuat,” ujar Masady dalam siaran pers kepada Ketik, Rabu, 26 November 2025.
Menurutnya, fasilitas bebas bea seharusnya diarahkan untuk mendorong produktivitas petani, nelayan, UMKM, dan desa-desa, bukan mengimpor komoditas konsumsi yang sensitif.
Ia merinci sejumlah sektor yang akan mendapat manfaat besar bila fokus kawasan bebas diarahkan ke barang produktif, misalnya di sektor pertanian bisa dengan untuk memasukkan traktor, cultivator, rice transplanter, power thresher, mesin perontok jagung, pengering hasil panen, dan mini rice mill.
“Dengan bebas bea, alsintan jadi lebih terjangkau dan petani bisa meningkatkan kapasitas produksi," sebutnya.
Kemudian di bidang perikanan dan kelautan, Masady menyampaikan bahwa bisa dengan mesin kapal, GPS dan fish finder, jaring modern, mesin es, hingga cold storage kecil.
“Biaya peralatan nelayan masih sangat tinggi. Jika alat ini bisa masuk lebih murah, ekonomi pesisir akan hidup," tuturnya.
Selanjutnya di bidang energi dan infrastruktur desa, selayaknya bisa untuk impor genset, panel surya, inverter besar, pompa air, pipa irigasi, hingga alat pengolahan air bersih.
“Banyak desa butuh teknologi sederhana namun mahal. Kawasan bebas bisa menurunkan biaya itu," kata Masady.
UMKM dan agroindustri, seperti misalnya mesin penggiling tepung, mesin pakan ternak, mesin pengolahan kelapa, alat pengering hasil pertanian, dan mesin-mesin kecil lainnya.
“UMKM bisa naik kelas ketika alat produksinya mudah dijangkau," tambahnya.
Masady menekankan bahwa masuknya barang-barang produktif lewat fasilitas bebas bea akan menghasilkan efek berantai: harga lebih murah, biaya usaha turun, kapasitas produksi naik, dan ekonomi lokal bergerak lebih cepat.
Mengenai polemik beras impor yang sempat menjadi bahan perdebatan publik, ia menyebut bahwa isu tersebut hanyalah pemantik untuk melihat masalah yang lebih mendasar.
“Beras hanya contoh. Yang perlu dibenahi adalah arah besar pemanfaatan kawasan bebas itu sendiri. Jika fokusnya tepat, tidak akan ada kegaduhan seperti sekarang,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya koordinasi pemerintah agar tidak terjadi pernyataan yang berbeda-beda di ruang publik.
“Koordinasi itu kunci. Pemerintah harus satu suara agar masyarakat tidak bingung. Tapi lebih dari itu, pondasi kebijakannya harus benar: kawasan bebas harus menjadi pintu masuk teknologi produktif yang memberi manfaat langsung pada rakyat," sebutnya.
Masady berharap momentum ini menjadi evaluasi nasional untuk menata pemanfaatan kawasan bebas secara lebih strategis.
“Kita harus memastikan fasilitas bebas bea dipakai untuk memperkuat ekonomi rakyat. Jakarta boleh jadi pusat kebijakan, tapi manfaatnya harus sampai ke daerah. Dan itu hanya terjadi kalau yang masuk adalah alat penunjang ekonomi, bukan barang konsumtif," pungkas Masady. (*)
