KETIK, SURABAYA – Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur Musyafak Rouf menyampaikan pesan untuk keselamatan santri dan mengikuti adaptasi digital menjalan peringatan Hari Santri 2025.
“Mudah-mudahan di momen Hari Santri ini menjadi titik tolak bahwa santri bukan lagi menjadi barang yang dianggap asing, tetapi bagian dari pernik-pernik bangsa Indonesia yang sudah sejak sebelum merdeka hingga sekarang eksis dan terus-menerus ditempa dengan berbagai cobaan,” katanya, Jumat 17 Oktober 2025.
Musyafak mengingatkan pengelola pesantren untuk berbenah, selain fasilitas hunian untuk keselamatan santri, juga merespons duka di Ponpes Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo agar tidak terulang lagi.
“Ini juga menjadi bagian dari peringatan kepada siapapun yang mempunyai lembaga pondok pesantren yang menampung para santri,” jelas politisi PKB itu.
Hunian atau tempat yang dipakai belajar oleh para santri merupakan bagian dari fasilitas untuk kesuksesan mereka menuju masa depannya.
Ia menekankan, porsi pendidikan akhlak di pesantren lebih besar ketimbang sekolah umum, membentuk adab, kepatuhan, dan tanggung jawab melalui kedekatan santri dengan guru, pengasuh serta kiai.
“Santri kalau mendapat perintah dari gurunya atau kiainya itu tanpa harus ada penolakan sama sekali, bahkan mereka merasa dapat barokah ketika membantu para kiai dan ustadznya yang ada di sana. Beda dengan di sekolah-sekolah umum yang di sana seakan menjadi beban,” terangnya.
Ia berharap, ke depan para santri tidak hanya dilihat dari sisi sebelah mata, tetapi merekalah rata-rata yang mempunyai uswatun hasanah di tengah masyarakat. Bahkan, rata-rata tokoh-tokoh keagamaan yang ada di desa-desa itu semua adalah rata-rata anak santri,” lanjutnya.
Musyafak menambahkan, santri tak bisa lepas dari era digital, larangan berponsel di banyak pesantren telah bergeser menjadi literasi, pengawasan, dan komunikasi yang lebih proporsional.
“Sekarang harus menyesuaikan, bahwa digitalisasi itu adalah bagian dari pengembangan potensi santri yang harus mengikuti dunia luar yang tidak bisa kita bendung,” katanya.
Menanggapi anggapan feodal, ia mengatakan kurikulum pesantren kini diakui, kesempatan mendapat beasiswa juga terbuka, sedangkan pola tradisional bergeser ke pedagogik Ki Hajar Dewantara yang lebih modern humanis.
“Kalau ada yang mengatakan begitu (feodal) masih bisa kita pahami bahwa mereka mungkin belum tahu sebenarnya seperti apa pesantren yang sekarang,” ungkapnya.
Ia menambahkan, feodalisme itu hampir sekarang sudah mulai bergeser, dan sekarang mengedepankan pedagogik yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.
"Itu normal tidak lagi seperti zaman kerajaan yang sangat tradisional yang seperti hidup di kerajaan tanpa harus ada milah-milah atau melakukan pemilihan apa yang dia harus lakukan,” lanjutnya.
Ia mencontohkan perubahan aturan, dulu membawa ponsel dilarang, bahkan memakai celana tidak diperbolehkan, dan kini komunikasi santri dan orang tua berlangsung setiap saat.
"Zaman saya dulu, jangankan bawa HP (hanphone), kita pakai celana saja enggak boleh. Sekarang, semua pakai celana di pondok-pondok pesantren. Bahkan semuanya sudah komunikasi per detik, kita bisa komunikasi dengan anak kita yang ada di pondok pesantren,” ucapnya.
“Saya ucapkan selamat kepada para santri, keluarga santri, dan orang tua yang memondokkan anak-anaknya, semoga kelak menjadi anak saleh dan salihah,” pungkasnya. (*)