Pungli dan Suap di Layanan Cuci Darah: Luka Keadilan dalam Pelayanan Kesehatan

27 Desember 2025 15:40 27 Des 2025 15:40

Thumbnail Pungli dan Suap di Layanan Cuci Darah: Luka Keadilan dalam Pelayanan Kesehatan
Oleh: Supriarno*

Pelayanan cuci darah (hemodialisis) bukan sekadar layanan medis biasa. Bagi pasien gagal ginjal, ia adalah garis hidup datang rutin, tak bisa ditunda, dan tak boleh salah urus. Namun ironisnya, di balik ruang perawatan yang steril dan mesin-mesin medis yang berdetak presisi, terselip praktik kotor yang mencederai nurani: pungutan liar (pungli) dan suap menyuap.

Dua praktik ini kerap disamakan, padahal secara hukum dan moral, keduanya berbeda. Yang sama hanya satu: sama-sama merusak keadilan layanan kesehatan.

Pungli: Ketika Hak Pasien Dijual Paksa

Pungli dalam layanan cuci darah biasanya hadir dalam bentuk “permintaan halus” yang terasa kasar bagi pasien. Uang diminta agar antrean dipercepat, jadwal dimajukan, atau sekadar agar pasien “lebih diperhatikan”. Padahal, seluruh layanan tersebut telah dijamin BPJS atau masuk dalam skema biaya resmi rumah sakit.

Masalah utama pungli adalah unsur pemaksaan. Pasien berada dalam kondisi lemah, bergantung pada jadwal rutin, dan tak punya banyak pilihan. Di sinilah relasi kuasa disalahgunakan. Membayar bukan lagi pilihan, melainkan jalan bertahan hidup.

Secara hukum, pungli masuk kategori pemerasan. Dalam KUHP lama diatur Pasal 368, dan dalam KUHP baru yang berlaku 2 Januari 2026 diatur Pasal 482. Jika dilakukan oleh penyelenggara negara atau aparatur pelayanan publik, praktik ini juga bisa dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Korban pungli sejatinya bukan pelaku kejahatan, melainkan pihak yang dirugikan. Karena itu, mereka patut dilindungi dan didorong untuk melapor agar hak atas layanan kesehatan yang adil dapat dikembalikan.

Suap Menyuap: Ketika Keistimewaan Dibeli

Berbeda dengan pungli, suap menyuap lahir dari kesepakatan. Ada niat sejak awal, ada pemberi dan penerima, ada keuntungan yang dipertukarkan. Dalam konteks layanan cuci darah, suap bisa terjadi ketika keluarga pasien menawarkan uang atau hadiah agar pasiennya diprioritaskan, meski harus melangkahi antrean orang lain.

Di sinilah keadilan runtuh secara sistemik. Pasien yang mampu membayar mendapat keistimewaan, sementara yang tak mampu harus menunggu bahkan ketika kondisi medisnya sama atau lebih mendesak.

Secara hukum, suap menyuap jelas merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5, 6, 11, dan 12 UU Tipikor. Dalam kasus ini, baik pemberi maupun penerima suap sama-sama berpotensi diproses hukum.

Mengapa Praktik Ini Berbahaya?

Pungli dan suap dalam layanan kesehatan bukan sekadar pelanggaran administrasi. Dampaknya jauh lebih dalam:

  • Meruntuhkan kepercayaan publik terhadap rumah sakit dan tenaga kesehatan
  • Menciptakan ketimpangan akses layanan medis
  • Mengancam keselamatan pasien karena keputusan bisa dipengaruhi uang, bukan kebutuhan klinis
  • Menormalisasi budaya korupsi di sektor yang seharusnya paling manusiawi

Ketika nyawa dipertaruhkan, setiap bentuk transaksi gelap adalah pengkhianatan.

Membedakan, Agar Tidak Salah Menindak

Penting dipahami, perbedaan pungli dan suap menyuap sangat signifikan.

Pada pungli, ada unsur pemaksaan dan kerugian di pihak pasien. Korbannya harus dilindungi dan pelakunya ditindak.

Pada suap menyuap, ada kesepakatan sejak niat awal. Maka, demi keadilan layanan kesehatan, praktik ini wajib diproses hukum oleh aparat penegak hukum.

Penutup

Layanan cuci darah seharusnya menjadi ruang harapan, bukan ladang transaksional. Membersihkan praktik pungli dan suap menyuap bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal menjaga martabat kemanusiaan.

Di ruang di mana hidup dan mati berjarak satu jadwal terapi, keadilan bukan pilihan ia adalah kewajiban.

*) Dr. Supriarno, S.H., M.H merupakan Pengamat Kebijakan Hukum Blitar

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

Supriarno Hemodialisa Cuci Darah Rumah Sakit Penyakit Blitar Kota Blitar Kabupaten Blitar suap pungli antri RSUD Mardi Waluyo