KETIK, BATU – Tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional Sedunia. Berbicara soal HAM, Kota Batu pernah melahirkan salah seorang kampiun HAM level internasional, Munir Said Thalib.
Munir lahir di Kota Batu pada 8 Desember 1965. Ia lahir dari pasangan Said Thalib dan Jamilah. Munir adalah anak keenam dari tujuh bersaudara.
Nama Munir diberikan dengan harapan ia bisa menjadi cahaya bagi keluarga.
Munir tumbuh sebagai anak pemberani. Kakak kandungnya, Rasyid, menyebut bahwa Munir kecil pernah memintanya untuk melapor kepada polisi tentang peristiwa kekerasan yang terjadi di tempat tinggal mereka. Karena Rasyid tak kunjung melapor, Munir sendiri yang melapor ke polisi.
Keberanian dan jiwa aktivisme Munir kian meluap-luap kala sedang berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Ia sempat bergabung dengan Badan Perwakilan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan.
Di luar kampus, Munir pun kian aktif di organisasi Al-Irsyad. Terakhir, ia masuk ke dewan penasihat organisasi tersebut.
Lulus kuliah, Munir membaktikan dirinya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang. Setelahnya, ia bergabung dengan LBH Surabaya dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Selama bergabung dengan LBH, Munir banyak melakukan advokasi, termasuk advokasi Kasus Marsinah dan korban Waduk Nipah di Sampang.
Bersama Mulyana W Kusumah dan MM. Billah, ia lalu mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pada masa jatuhnya Soeharto, KontraS banyak berperan dalam advokasi korban kekerasan aparat negara.
Setelah membesarkan KontraS, Munir mendirikan Imparsial. Lembaga ini didirikan Munir dan 17 orang pegiat HAM lainnya pada Juni 2002.
Belakangan, menurut Usman Hamid, salah seorang murid dan sahabatnya, Munir sempat aktif di radio Voice of Human Rights.
Advokasi dan pembelaan Munir terhadap HAM membuatnya menerima penghargaan Right Livelihood Award pada tahun 2002. Penghargaan ini dikeluarkan oleh lembaga asal Swedia, Right Livelihood.
"Sebagai human rights defender, Munir telah mengilhami sekaligus menyemangati gerakan HAM di Indonesia, menjadi sebuah praktik pembebasan masyarakat tertindas," kata Johnson Panjaitan, salah seorang advokat senior, beberapa waktu setelah meninggalnya Munir.
"Ia tak hanya bergelut dengan konstruksi ide, gagasan, dan wacana. Lebih dari itu, Munir menggabungkan ide bagi pijakannya dalam melakukan aktivitas pembelaan maupun pendampingan," sambungnya.
Pada 2004, Munir mendapat kesempatan untuk melanjutkan studinya di Belanda. Sedianya, ia akan menempuh jenjang magister di Universitas Utrecht, Belanda.
Sayangnya, dalam perjalanan menuju Belanda, Munir dibunuh. Kadar arsen dengan dosis tinggi ditemukan dalam darah dan jaringan tubuhnya. Pada 7 September 2004, ia wafat di atas pesawat yang membawanya ke Negeri Kincir Angin tersebut.
Seorang pilot senior Garuda, Polycarpus Budihari Prijanto, dijadikan terdakwa pada kasus pembunuhan ini. Ia dipercaya menjadi salah satu mata rantai dalam operasi intelejen untuk membunuh Munir. Dalam kasus ini, nama Muchdi Purwoprandjono, eks Deputi V BIN, disebut sebagai dalangnya.
Peristirahatan terakhir Munir di Tempat Pemakaman Umum Sisir, Kota Batu. (Foto: Dendy Ganda/Ketik.com)
Dalam mengantarkan kepergian Munir, Usman Hamid menyebut bahwa gurunya tersebut meninggalkan warisan yang tak akan bisa dilupakan.
"Munir, Sang Cahaya itu telah tiada. Mudah-mudahan setelah kepergiannya akan lahir banyak Munir, yang melanjutkan mimpi dan cita-cita akan hadirnya sebuah kehidupan yang lebih baik," tulis Usman dalam artikel berjudul 'Sang Cahaya Itu'.
Munir lahir di Batu, dan dari kota kecil itu ia membawa keberanian yang mengguncang rezim. Lebih dari dua dekade setelah kepergiannya, kisah tentang 'Sang Cahaya' itu masih menyala. (*)
