KETIK, BLITAR – Empat sertifikat tanah seluas lebih dari 21 hektar di Desa Gunung Gede, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, resmi terbit hanya dalam satu hari. Ya, Anda tidak salah baca sehari saja!
Fenomena supercepat ini bukan terjadi di Silicon Valley atau Korea Selatan yang dikenal dengan teknologi mutakhir, tapi di Blitar, Jawa Timur. Kecepatan yang bahkan membuat program smart city pun terlihat seperti mainan zaman dulu.
Menurut data yang dihimpun Ketik.com, keempat sertifikat tersebut terbit pada 3 Juni 2024, seluruhnya melalui program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Prosesnya bukan hanya cepat tapi kilat: mulai dari pendaftaran, pengukuran, hingga penerbitan semua tuntas dalam 24 jam.
Nama-nama yang tercantum di sertifikat itu antara lain:
• S (171/Gunung Gede/2024) – luas 48.794 m²
• A (172/Gunung Gede/2024) – luas 48.259 m²
• J (171/Gunung Gede/2024) – luas 48.549 m²
• YS (91/Gunung Gede/2024) – luas 33.193 m²
Totalnya mencapai lebih dari 21 hektar.
Menariknya, semuanya berasal dari satu akta tanah model C nomor 1345, yang kemudian “dipindah” menjadi nomor 1515 atas nama inisial S.
Lebih aneh lagi, dalam dokumen notaris tertulis bahwa lahan itu “dipinjam pakai gratis tanpa batas waktu.” Gratis, tanpa batas waktu seolah hukum pertanahan bisa dinegosiasi seperti sewa lapangan futsal.
Ketua Gerakan Anak Nasionalis (Gannas), Joko Wiyono, S.H., geram ketika mengetahui kabar ini. Ia menilai, kecepatan semacam ini tidak masuk akal dan berpotensi melanggar hukum.
“Dari awal berdirinya saja sudah melanggar. Di akta notarisnya tertulis pinjam pakai gratis tanpa batas waktu. Empat sertifikat bisa terbit dalam satu hari? Itu bukan pelayanan cepat, itu keajaiban administrasi!” tegas Joko kepada Ketik.com.
Menurut Joko, pemilik lahan bukan warga Desa Gunung Gede, sehingga penerbitan sertifikat melalui PTSL sudah janggal sejak awal.
“Bisa dibayangkan, empat sertifikat mulai pendaftaran, pengukuran, sampai penerbitan selesai dalam satu hari. Itu tidak logis. Warga menilai prosesnya cacat hukum,” lanjutnya.
Namun, Joko menegaskan bahwa Gannas tidak anti investasi.
“Kami tidak menolak investor. Tapi prosedur hukum harus ditegakkan. Pabrik boleh berdiri, tapi AMDAL jangan diabaikan. Warga sudah menderita karena limbah, jangan malah ditutup-tutupi,” ujarnya.
Kepala Desa Gunung Gede, Mayar Siswanto, ketika dikonfirmasi Ketik.com, memilih berhati-hati.
“Iya, itu memang warga Malang. Tapi warga mana saja bisa kok mengurus PTSL di Gunung Gede,” katanya.
Namun, ketika ditanya soal empat sertifikat yang bisa terbit hanya dalam sehari, ia mengaku tidak tahu-menahu.
“Terkait pembuatan empat sertifikat dalam sehari, saya tidak mengetahui hal tersebut. Kalau pengukuran dan sebagainya memang melalui prosedur desa, tapi saya tidak tahu kalau bisa secepat itu,” ujarnya menutup pembicaraan.
Dari hasil penelusuran Ketik.com dan informasi dari warga, kasus ini berpotensi melanggar Pasal 263 jo 264 KUHP tentang pemalsuan surat.
Pasal itu menegaskan, siapa pun yang membuat atau menggunakan surat palsu yang menimbulkan hak atau perikatan, dapat dijerat pidana. Jika benar ada rekayasa administrasi, ini bukan lagi soal “kecepatan layanan”, tapi soal rekayasa hukum.
Ironinya, sertifikat “kilat” ini terkait langsung dengan peternakan sapi raksasa PT Karya Suci Putra Prasetya (KSPP) yang sejak lama dikeluhkan warga.
Limbah dari kandang sapi tersebut mencemari aliran sungai di tiga dusun. Air berubah warna dan berbau busuk. Namun, sampai sekarang, pemerintah belum juga bertindak tegas.
“Limbahnya bikin air bau dan gatal. Kami sudah lapor, tapi belum ada tindakan,” keluh salah satu warga saat ditemui Ketik.com.
Di tengah gembar-gembor “investasi hijau” dan pembangunan berkelanjutan, praktik seperti ini justru menunjukkan wajah gelap birokrasi pertanahan.
Cepat, tapi salah arah. Rapi di atas kertas, tapi kotor di sungai.
