Orang yang melakukan kekerasan lalu membuatnya harus menanggung hukuman dari perbuatan itu jelas merasa menyesal. Akibat yang ditanggung dari perbuatan akibat emosi meninggi ternyata sangat menyengsarakan, misal mendapatkan hukuman penjara yang membuatnya mengalami kesusahan. Dalam penjara orang tak bisa bersama keluarga dan teman. Dalam penjara orang tak bisa melakukan banyak hal yang bisa dilakukan ketika menghirup udara kebebasan di luarnya.
Emosi tak terkendalilah yang kadang menjadi penyebab kenapa orang melakukan tindakan melanggar hukum. Emosi ini sebenarnya menyiksa diri seseorang setelah ia mendapati suatu rangsangan dari luar dirinya, baik berupa realitas yang dialaminya sendiri atau cerita dari orang dekat yang terkait dengan dirinya. Pikiran dan perasannya terangsang untuk membentuk persepsi dan pemahaman, lalu memunculkan sikap dan tindakan untuk merespon apa yang terjadi.
Ada persepsi diri yang terlibat, yaitu cara memandang diri. Lalu dikaitkan dengan rangsangan dari luar, berupa kejadian atau pemahaman terhadapnya yang dibentuk pula dari persepsi diri tersebut. “Siapa elu kok berani-beraninya ke gua?” merupakan kalimat—yang terucap dan yang dibatin—yang jelas melibatkan proses seseorang melihat dirinya. “Gua adalah anu, kenapa lho berani ke gua? Gua adalah anu, kenapa lu melakukan sesuatu yang dampaknya ke gua? Lu belum tahu gua ya?”
Pokoknya diri terusik. Ego yang mudah bergejolak seringkali terjadi karena persepsi diri terjadi begitu cepat. Hingga, dalam banyak hal naiknya emosi itu terjadi karena proses keluarnya ego itu tidak diiringi dengan proses pemahaman terhadap realitas yang terjadi secara utuh. Artinya, emosi yang dominan—ego yang tinggi—seringkali terjadi seiring dengan daya intelektualitas yang rendah. Makanya tak salah jika kita sering mendengar: “Orang bodoh itu gampang emosi dan perasaannya gampang dipermainkan!”
Selain faktor rendahnya intelektualitas, orang yang gampang emosi rata-rata memiliki perasaan bahwa mereka punya kekuatan yang diandalkan. Misal kekayaan atau jabatan, atau lingkaran pertemanan yang membuatnya merasa kuat. Kekuatan itulah yang menyusun ego dan rasa percaya diri bahwa ia punya suatu hal yang membentengi dirinya, yang kadang bukan berasal dari dirinya sendiri, tapi dari luar dirinya. Teman, keluarga, jabatan, kepemilikan (kekayaan) sebenarnya bukan suatu yang mendefinisikan diri seseorang secara otentik.
Kenapa seringkali seseorang bilang: “Kamu belum tahu siapa aku?”
Sebenarnya, yang dimaksud siapa aku ini bukan diri kita sendiri. Tapi mengacu pada orang lain atau benda lain. Misal:
- Aku adalah anaknya pejabat tinggi.
- Aku adalah pemilik uang banyak dan punya banyak teman dan anak buah.
- Aku adalah anggota perguruan pencak silat yang jumlah anggotanya banyak dan siap aku kerahkan jika aku mau.
- Aku adalah orang yang punya saudara orang-orang kuat dan berpangkat.
- Aku adalah suami/istri orang yang terpandang dan berpengaruh.
Itu bukan dirinya sendiri. Itu adalah orang lain. Toh kalau kadang sesuatu itu adalah miliknya sendiri, sebenarnya itu juga bukan miliknya sendiri yang abadi. Dan sesuatu itu juga tak akan selalu bisa membantunya. Karena sesuatu itu memang bukan dirinya. Dirinya yang melakukan sesuatu akibat dorongan dari dalam dirinya—emosi itu tadi—seringkali tak akan tertolong oleh sesuatu yang berada di luar dirinya.
Sebab jaman modern yang meniscayakan pikiran rasional dan akal sehat tak selalu bisa dimanipulasi dengan seuatu yang berada di luar dirinya itu. Apakah seseorang yang melakukan kekerasan terhadap orang lain itu akan bebas dari hukuman hanya karena ia punya saudara pejabat atau katakanlah teman atau saudara orang-orang kuat?
Apakah seorang wakil walikota yang tertangkap KPK akan dilindungi oleh orang-orang dekatnya? Apakah orang lain—yang diklaim dekat sekalipun—selalu melindunginya? Kenapa tidak melindunginya? Yak arena perbuatan jahat dan merugikan itu dilakukan oleh dirinya, karena dorongan emosinya.
Kecuali ada orang yang secara emosional terikat dengannya. Misal sekutu koruptornya, yang merasa menjadi bagian dari perbuatan jahat bersama yang sama-sama menikmati uang korupsi. Atau mungkin keluarganya yang selama ini mendapatkan penghidupan dari si koruptor. Tapi mereka juga tidak akan selalu bisa mengintervensi pikiran waras dan iman lurus para penegak hukum yang bertugas memberi hukuman orang-orang yang salah.
Coba kita lihat fenomena dari tindakan emosional lain yang berujung menyebabkan orang terkena dampaknya berupa hukuman. Misal, anak-anak remaja yang membakar anak muda yang lain hanya karena sentimen perguruan pencak silat dan perkelahian yang sifatnya keroyokan alias tak pernah sendiri. Kira-kira apakah teman-teman atau anggota maupun ketua sebuah perguruan pencak silat bisa menyelamatkan anak-anak pelaku kriminal itu dari hukuman?
Tidak. Meskipun perbuatan kriminal—membunuh orang lain—dilakukan karena emosi yang terbangun akibat solidaritas perguruan, yang kemudian terhukum dan terbui adalah personal-personal pelaku kriminal. Emosi yang terbangun secara sosial—dalam hal ini dibangun oleh solidaritas kelompok (social group)—kadang membesar dan hal itu mengalahkan kesadaran individual.
Ada kejadian lainnya yang bisa dijadikan contoh. Anak-anak anggota perguruan pencak silat merusak kantor polisi yang jelas-jelas merupakan perbuatan kriminal. Itu jelas merupakan contoh bagaimana keesadaran individual—emosi individual—gampang dipengaruhi oleh “kesadaran kelompok”. Makanya, otentisitas atau keaslian individu itu umumnya terbentuk karena orang tak mudah dipengaruhi oleh cara pandang orang lain.
Anak-anak muda dan para remaja itu tak pernah berkelahi sendiri atau menyerang pemuda lain (yang dianggap beda perguruan) secara sendiri. Mereka selalu keroyokan. Mereka ini kehilangan “kekuatan” ketika mereka sendiri. Rasa PD mereka tidak ada ketika sendiri. Mereka adalah generasi bermental “herden moral”—dalam bahasa Nietsczhe—yang kehilangan otentitas karena pikirannya tidak terbangun dari pencarian-pencarian akan identitas diri yang asli. Mereka adalah generasi rapuh yang kemandirian dan kemedekaan dirinya telah terbuang sejak mereka mengidentifikasi dirinya dalam kelompok.
***
Kesadaran diri yang tumbuh yang mendorong individu itu punya sikap kritis terhadap orang lain dan terhadap diri adalah yang hal yang bisa membuat manusia mengendalikan emosi. Orang yang emosinya gampang terpancing ratarata adalah mereka yang punya daya evaluasi diri dan daya kritis terhadap realitas yang mereka terima. Yang membuat mereka serampangan membangun suatu pemahaman yang langsung terhubung dengan ego—dan egoism tentunya.
Mereka langsung melakukan perbuatan untuk mengungkapkan ego itu. Merasa eksistensi dirinya direndahkan lalu berbalas dengan merendahkan secara verbal. “Kamu melakukan hal seperti itu pada anakku, kamu belum tahu siapa aku!” Lalu merendahkan orang lain dengan menonjolkan diri sendiri di hadapan orang lain yang dianggap mengusiknya dilakukan demikian brutal karena itu adalah sarana mengungkapkan ego selelepas-lepasnya—dengan cara merendahkan orang lain serendah-rendahnya.
Kesadaran diri dan kontrol emosi merupakan cara orang meraih otentisitas. Tak gampang “terprovokasi" oleh sesuatu dari luar. Sadar diri. Sadar situasi. Sadar hukum. Sadar politik. Sadar masa lalu dan masa depan. (*)
*) Nurani Soyomukti adalah pendiri INDEK (Institute Demokrasi dan Keberdesaan), nyantri di Akidah Filsafat Islam Universitas Islam Tulungagung.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
