Kekerasan Terhadap Guru dan Perlindungan Bagi Pendidik

4 November 2025 12:33 4 Nov 2025 12:33

Thumbnail Kekerasan Terhadap Guru dan Perlindungan Bagi Pendidik
Oleh: Nurani Soyomukti*

Kekerasan bisa terjadi di mana saja, apalagi di negara Indonesia yang masyarakatnya masih berada fase mental-psikologis yang belum matang. Mentalitas belum matang ini dicirikan dengan adanya dominasi emosi dibanding akal sehat dan pikiran waras. Juga kesadaran hukum dan hak asasi manusia yang masih minim. Orang seringkali mendahulukan subjektivitas dan egonya ketika merespon dan menghadapi sesuatu. Dalam hubungan antara manusia satu dengan lainnya, ada kalanya terjadi pemaksaan kehendak dan peluapan emosi yang tidak peduli pada orang lain dan ketentuan hukum serta hak asasi manusia.

Kekerasan terhadap orang lain jelas merupakan tindakan abai terhadap  orang lain yang punya hak untuk bebas dari gangguan dan ancaman. Kekerasan, baik berupa fisik maupun verbal, terjadi karena pelaku kekerasan tidak mempedulikan siapapun dan apapun kecuali diri si pelaku yang ingin memaksakan kehendaknya, yang kadang  dikendalikan oleh emosi dan ego pribadi (perasaan superior). Sedangkan si korban kekerasan jelas menjadi pihak yang dirugikan baik secara fisik maupun non-fisik. 

Kekerasan fisik bisa mengakibatkan kerugian  fisik (luka dan sakit yang mengganggu kehidupan orang untuk jangka waktu pendek dan jangka panjang). Sedangkan kekerasan verbal bisa membuat hati sakit, misal karena disemprot kata-kata kotor, cacian dan makian, intimidasi dan ancaman. Dibanding kekerasan fisik yang dampaknya kelihatan, misalnya luka dan memar, dampaknya kekerasan verbal adalah secara piskologis. Korban merasa sakit karena dihina dan direndahkan, mentalnya menjadi “down”, dan dampak perasaan dan pikiran  yang membuat situasi si korban memburuk.

Kekerasan adalah kisah keseharian masyarakat Indonesia. Mulai fenomena perkelahian  di mana seorang remaja dikeroyok anak-anak lainnya karena sentimen perguruan pencak silat—hal yang seringkali terjadi. Hingga kekerasan di lembaga pendidikan, misalnya kekerasan akibat relasi kuasa antara kiai dan santri, guru terhadap murid, atau sebaliknya: murid terhadap guru. 

Kekerasan yang bernuansa seksual belakangan ini menjadi peristiwa yang jamak terjadi, terutama di lembaga pendidikan yang bernuansa agama (pondok pesantren). Kasus kekerasan seksual seperti pencabulan mulai terkuak dan sepertinya fenomenanya bagai gunung es, sedikit yang kelihatan karena terkuak tetapi bisa jadi banyak yang tidak terkuak karena dominannya budaya feodal yang membuat anggota komunitas pondok pesantren suka bungkam—ada yang  terbungkam karena doktrin agama, atau ada yang berusaha membungkam.

 

Kekerasan terhadap Guru
Yang juga baru saja terjadi di Trenggalek dan lagi viral adalah kekerasan terhadap guru. Pelakunya adalah pihak keluarga dari anak didik yang diajar oleh guru tersebut. Sebagaimana diberitakan di berbagai  media, seorang guru bernama Eko Prayitno, melaporkan pelaku kekerasan pada polisi. Pelaku kekerasan adalah dari pihak keluarga murid yang HP-nya diambil Pak Eko selaku guru di kelas pada saat proses pembelajaran berlangsung. 

Menurut Pak Eko tindakan “menyita” HP itu memang sudah sesuai aturan di sekolah. Sikap itu oleh murid diadukan ke keluarganya. Sebenarnya adalah biasa anak-anak tidak patuh pada guru dan aturan sekolah. Juga sudah biasa anak akan lapor atau bercerita pada orangtua tentang apa yang dilakukan oleh gurunya. Reaksi dari orangtua seharusnya juga melakukan komunikasi yang wajar. Komunikasi di sini adalah untuk menggali informasi kenapa si Guru atau pihak sekolah melakukan kebijakan atau tindakan tertentu terhadap murid. Apakah perlakuan guru atau pihak sekolah itu melanggar aturan atau tidak, ataukah berdampak buruk pada murid atau tidak. Komunikasi antara pihak gru dan sekolah dengan murid dan keluarga murid memang harus dilakukan.

Tapi akan lain lagi ketika reaksi orangtua terhadap  guru dan sekolah tidak wajar alias tidak sesuai etika kemanusiaan. Etika kemanusiaan yang saya maksud adalah menjunjung tinggi hak-hak tiap orang, memperlakukan orang secara manusiawi, berprinsip pada kesetaraan, menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan—apalagi posisinya adalah sebagai pihak yang sama-sama punya hubungan dengan anak. Anak (murid) yang berhubungan dengan guru karena proses pembelajaran, juga guru dengan orangtua murid yang juga sebagai pihak yang memang harus berkomunikasi. Keduanya, pihak guru/sekolah dan pihak keluarga murid, sama-sama punya tujuan untuk melihat anak berkembang dalam proses pengajaran dan pengasuhan.

Apa yang menimpa Pak Eko, guru di SMPN 1 Trenggalek, jelas merupakan pelanggaran haknya sebagai manusia. Pak Eko yang merupakan guru Kesenian, yang selain mengajar di sekolah juga sering mendampingi anak-anak latihan melukis di rumahnya, juga aktif melakukan pameran seni rupa bersama komunitasnya Forum Perupa Trenggalek (FPT), tentu punya hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang bebas dari kekerasan baik fisik maupun verbal. Katakanlah Pak Eko dianggap salah oleh orangtua murid yang melaporkan perbuatannya, tak seharusnya ia mendapatkan perlakuan kekerasan. Penganiayaan terhadapnya dan kekerasan verbal yang dialaminya berupa makian jelas melanggar hak dan martabatnya sebagai manusia.

Tentu kita patut menyayangkan tindakan kekerasan ini. Saya sebagai warga Negara sekaligus wali murid dari dua orang anak ikut merasa prihatin. Sebagai orangtua wali murid,  sebenarnya posisi kita dengan guru itu adalah mitra  dekat karena kita terikat dengan hubungan lebih dari sekedar sebagai warga yang butuh pelayanan pendidikan, tetapi juga bisa menjadi pihak  yang bisa berkomunikasi dengan baik untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait perkembangan anak-anak kita di sekolah. Apalagi pendidikan jaman sekarang yang berparadigma demokratis dan partisipatif, di mana orangtua juga terwadahi dalam komite sekolah sebagai wadah yang punya kedudukan lebih tinggi di atas sekolah.

Kedudukan wali murid memang bisa dipandang lebih tinggi karena sebagai warga Negara yang punya hak diberi pelayanan pendidikan oleh Negara (lewat satuan pendidikan masing-masing). Akan tetapi bukan berarti posisi wali murid yang lebih tinggi ini bisa digunakan untuk dengan semena-mena berbuat seenaknya pada guru sebagai pelayan pendidikan anak. Kadang ego yang tinggi dan terlalu ditinggikan itu, jika tidak dikontrol, juga akan bisa membuat kita bisa seenaknya memperlakukan orang lain di luar batas kewajaran—apalagi yang melanggar hukum seperti tindakan kekerasan.

Prinsip kesetaraan dan saling menghormati harus tetap dijaga. Tidak peduli apakah orangtua murid punya kekayaan melimpah dan kedudukan tinggi di masyarakat, lantas  mereka bisa memperlakukan orang lain sesuai kehendak egonya. Apalagi guru dari muridnya yang sebenarnya adalah pihak yang bisa diajak bicara baik-baik. Kekerasan fisik (penganiayaan) tak jarang diiringi kekerasan verbal. Sebab  kata-kata yang dikeluarkan kadang berupa ekspresi  kesombongan karena si pelaku kekerasan  merasa superior, misalnya merasa punya  kedudukan dan status sosial lebih tinggi. 

Merasa lebih tinggi dan unggul secara sosial bisa menjadi  faktor pendorong diluapkannya emosi bagi orang yang dianggap lebih rendah yang pantas mendapatkan perlakuan buruk. Ketidakterimaan perlakuan yang didasari atas perasaan sombong sebagai orang yang berasal dari keluarga yang kaya dan punya kedudukan dan status tinggi inilah yang kadang melandasi sikap agresif yang  mengabaikan etika dan hukum. 

Inilah yang seringkali dihadapi oleh guru. Ketika ia sebagai pelayan publik di bidang pendidikan juga harus berhadapan dengan orangtua yang merasa harga dirinya terusik ketika guru dianggap memperlakukan anaknya secara tidak pantas. Orangtua kadang bereaksi spontan ketika mendapatkan “laporan” dari anaknya tentang apa yang dilakukan gurunya. Tanpa  berpikir panjang dan menggali alasan kenapa guru melakukan suatu kebijakan, keputusan, dan tindakan.

PERLINDUNGAN UNTUK GURU
Guru sendiri memang diberi hak untuk memberikan sanksi pada murid-muridnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor  74 Tahun 2008,  pada Pasal 39, dinyatakan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik Guru, dan peraturan perundang-undangan.

Adapun ketika orangtua merasa bahwa sanksi yang diberikan guru pada anaknya yang menjadi peserta didik memberatkan atau tidak tepat, sebenarnya orangtua juga tetap bisa berkomunikasi dengan pihak guru atau sekolah. Bukan langsung melakukan tindakan spontan secara sepihak yang didasarkan pada emosi, yang seakan tidak ada ruang komunikasi di antara guru dengan orangtua. 

Apa yang dialami Pak Eko Prayitno selaku guru bisa jadi dialami oleh guru-guru yang lain. Tindakan kekerasan terhadap guru bisa terjadi karena miskomunikasi. Tetapi juga bisa terjadi karena perasaan dominan dan ego tinggi dari pihak yang merasa bahwa ia bisa berbuat semena-mena terhadap guru. Artinya, keamanan guru selaku profesi pemberi jasa layanan pendidikan  punya potensi terancam. Karena itu, hak-hak perlindungan guru harus kembali kita gaungkan. 

Ancaman kekerasan terhadap guru bisa terjadi dari mana saja. Bisa dari murid atau peserta didik. Terkait hal ini, saya jadi ingat ketika sekolah SMP dulu, salah satu teman kelas saya yang berbadan besar menantang guru kami hanya karena merasa perlakuan guru membuatnya emosi. Hampir saja guru tersebut dipukul oleh muridnya, teman kami. Tentu ada kejadian lain, guru mendapatkan kekerasan fisik dan emosional dari para peserta didik.

Guru juga bisa mendapatkan ancaman kekerasan dari orangtua murid seperti terjadi pada Pak Eko di Trenggalek. Perlakuan tak wajar berupa penganiayaan, ancaman kata-kata kasar dan intimidatif  terjadi di sini. Setiap guru  tidak tahu bagaimana karakter  orangtua atau anggota keluarga anak didik. Apesnya, ketika berhadapan dengan orang yang emosional, ego tinggi dan suka memandang rendah orang lain, guru bisa mendapatan  kekerasan. 

Kekerasan yang dialami guru  juga bisa dari mana saja. Bisa dari orang-orang yang sama-sama berada di pihak sekolah. Misalnya yang terjadi karena relasi kuasa misalnya kekerasan terhadap guru oleh pimpinannya. Juga bisa dari orang-orang dari luar sekolah. Misalnya pemerasan dari oknum wartawan, LSM, dan lain-lain. 

Di sinilah perlidungan terhadap guru patut mendapat perhatian—bukan hanya sebatas wacana. Dalam Pasal 39 UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa perlindungan untuk guru  meliputi perlindungan hukum, profesi, keselamatan kerja. Pemerintah pemda masyarakat, organisasi profesi dan satuan pendidikan berkewajiban memberikan
perlindungan ini.

Perlindungan hukum di sini  mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Menindaklanjuti UU Guru dan Dosen, juga ada  PP Nomor 74 Tahun 2008 yang pada  Pasal 40  dinyatakan bahwa Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan pendidikan, Organisasi Profesi Guru, dan/atau Masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. 

Apa yang dilakukan oleh organisasi profesi guru dalam hal ini Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Trenggalek sudah tepat. Ketua PGRI Trenggalek bapak Catur Winarno menyatakan bahwa organisasinya mengutuk tindakan kekerasan terhadap guru dan siap memberikan pengawalan hukum terhadap guru yang menjadi korban kekerasan. 

Kasus ini juga memberi pelajaran bagi kita semua bahwa sikap dan perilaku etis harus kita junjung tinggi di manapun, termasuk di lingkungan pendidikan. Sekali lagi, komunikasi antara pihak wali murid dan para guru perlu dijaga dan ditingkatkan. Komunikasi bisa menghilangkan  kesalahpahaman-kesalahpahaman, serta bisa mendorong kemajuan bersama. (*)

*) Nurani Soyomukti adalah penulis buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (2008) dan “Teori-Teori Pendidikan: Dari Tradisional, Liberal, Marxis-Sosialis, dan Posmodernis” (2011), pendiri INDEK (Institute Demokrasi dan Keberdesaan), saat ini sedang nyantri di Pasca-Sarjana Akidah Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Tulungagung.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

 

Tombol Google News

Tags:

kekerasan guru Perlindungan pendidik opini Artikel opini Nurani Soyomukti