KETIK, BLITAR – Kasus dugaan penelantaran anak dan istri yang melibatkan salah satu anggota DPRD Kabupaten Blitar terus mendapat sorotan. Badan Kehormatan (BK) DPRD setempat memastikan bahwa laporan tersebut kini tengah diproses secara serius dan bertahap.
Laporan pertama kali diterima BK pada awal Juni 2025. Pelapornya adalah seorang perempuan berinisial RD warga Kecamatan Ponggok, yang mengaku sebagai istri siri dari anggota dewan berinisial S, berasal dari Fraksi PDI Perjuangan. Yang dipersoalkan adalah dugaan penelantaran terhadap dirinya dan anak yang kini berusia 2,5 tahun.
Ketua BK DPRD Kabupaten Blitar, Anik Wahjuningsih, menegaskan bahwa laporan tersebut memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti.
“Laporan ini kami anggap layak karena masuk sesuai prosedur, dan identitas pelapor jelas, bukan anonim. Jadi, wajib kami tindak lanjuti,” tegas Anik saat dihubungi Ketik melalui sambungan WhatsApp, Selasa 22 Juli 2025.
BK, lanjut Anik, saat ini masih berada dalam tahap klarifikasi. Semua pihak yang terkait, baik pelapor maupun terlapor, telah dijadwalkan untuk dimintai keterangan.
“Tahapannya sesuai tata tertib. Klarifikasi kepada terlapor sudah dilakukan. Setelah itu, hasilnya kami sampaikan kembali kepada pelapor,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Blitar Supriadi akrab disapa Kuwat menyatakan bahwa pihak pimpinan dewan belum bisa mengambil sikap sebelum ada rekomendasi resmi dari BK.
“Kita masih tunggu rekomendasi dari BK. Nanti apapun hasilnya akan kami teruskan ke partai,” terang Kuwat, yang juga menjabat sebagai Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kabupaten Blitar.
PDI Perjuangan, menurut Kuwat, akan menindaklanjuti hasil tersebut dalam rapat internal partai. Namun keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
“DPP-lah yang akan menentukan sikap. Tidak ada yang bisa intervensi. Kami hanya menyampaikan hasil dan pertimbangan di tingkat daerah,” ujarnya.
Kasus ini menyedot perhatian lantaran menyangkut nama baik lembaga legislatif dan etika anggota dewan. Meski sempat muncul kabar bahwa terlapor siap memenuhi kewajiban terhadap anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut, muncul pula permintaan agar terlebih dahulu dilakukan tes DNA.
S, anggota dewan terlapor, meminta tes DNA untuk memastikan bahwa anak tersebut benar-benar merupakan darah dagingnya sebelum mengakui status hukum dan menjalankan kewajiban sebagai ayah secara permanen.
Permintaan itu disambut terbuka oleh pelapor. Namun ia mengajukan syarat agar biaya tes DNA sepenuhnya ditanggung oleh S, mengingat permintaan itu berasal dari pihak terlapor. Ia juga meminta agar proses tes dilakukan oleh lembaga independen untuk menjamin hasil yang objektif dan tidak berpihak.
Kasus ini menambah daftar persoalan etika yang mencuat di kalangan pejabat publik daerah. Masyarakat kini menanti langkah konkret lembaga dewan dan partai dalam menegakkan akuntabilitas serta perlindungan terhadap hak anak dan perempuan. (*)