KETIK, BLITAR – Jagat maya kembali dibuat geram oleh aksi kekerasan di dunia pendidikan. Sebuah video yang menunjukkan seorang siswa SMP dikeroyok brutal oleh puluhan siswa lainnya di SMP Negeri 3 Doko, Kabupaten Blitar, viral di media sosial.
Ironisnya, insiden memalukan ini terjadi di lingkungan sekolah, saat kegiatan kerja bakti berlangsung. Alih-alih ditangani serius, penyelesaian justru dilakukan secara kekeluargaan, memunculkan gelombang kritik tajam terhadap Dinas Pendidikan dan pihak sekolah.
Dalam video berdurasi nyaris satu menit itu, tampak seorang siswa berseragam SMP tak berdaya dipukuli, ditendang, dan dikeroyok oleh sekelompok siswa lain. Korban hanya diam, sementara teman-teman sebayanya menonton tanpa upaya mencegah. Beberapa bahkan terlihat merekam kejadian, menjadikannya tontonan tanpa empati. Aksi biadab ini diduga terjadi pada Jumat, 18 Juli 2025, saat siswa sedang melakukan kerja bakti sekolah.
“Kalau peristiwa ini bisa terjadi di lingkungan sekolah, dengan banyak saksi mata dan tanpa intervensi guru, itu bukan lagi kelalaian itu bentuk pembiaran sistemik,” tegas Jaka Prasetya, Ketua Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI), Senin, 21 Juli 2025.
Menurutnya, pengawasan dan pembinaan di SMPN 3 Doko nyaris tidak berjalan. Ia menilai, keberadaan guru-guru seperti “ornamen” sekolah yang tidak menjalankan fungsinya sebagai pendidik maupun pelindung.
“Yang terjadi di SMPN 3 Doko ini adalah bukti nyata bahwa sekolah kita bukan lagi ruang aman bagi siswa. Jika sampai siswa dikeroyok massal, difilmkan, dan guru tidak tahu-menahu, lalu fungsi sekolah ini untuk apa?” tandas Jaka dengan nada kecewa.
Ia menambahkan bahwa kekerasan tersebut bukan sekadar pelanggaran norma atau etika, tapi telah masuk kategori tindak pidana terhadap anak. “Jangan sepelekan ini. Kita bicara soal kekerasan fisik terhadap anak. Ini ranah pidana. Jangan dikerdilkan dengan alasan damai kekeluargaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, GPI mendesak adanya audit pendidikan karakter di seluruh SMP negeri di Blitar.
Di sisi lain, Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar justru menganggap masalah ini telah selesai karena telah disepakati oleh orang tua korban dan pelaku untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Kepala Dinas Pendidikan, Adi Andaka, menyatakan bahwa kejadian bermula dari ejek-ejekan saat kerja bakti, lalu memicu keributan dan berakhir dengan pengeroyokan.
“Kronologinya, Jumat sore kami mendapat laporan dari waka kesiswaan. Saat kerja bakti, terjadi olok-olokan, dan akhirnya keributan pecah. Sabtu, semua siswa yang terlibat dipanggil, dibahas bersama Babinsa, Babinkamtibmas, dan perangkat desa. Orang tua korban pun hadir dan sepakat menyelesaikannya secara damai,” terang Adi.
Namun, pernyataan ini justru memicu kecaman. Banyak pihak menilai penyelesaian secara kekeluargaan tanpa proses hukum adalah bentuk pengaburan tanggung jawab institusi pendidikan terhadap kekerasan yang terjadi.
Aktivis pendidikan, psikolog, hingga tokoh masyarakat menyayangkan sikap Dinas Pendidikan yang dianggap terlalu permisif dan tidak memberi efek jera terhadap pelaku. Bahkan, tidak terlihat adanya evaluasi menyeluruh terhadap kelemahan pengawasan guru, pembinaan karakter siswa, atau sistem pengamanan sekolah.
“Pendidikan karakter yang digembar-gemborkan itu hanya slogan. Kalau benar-benar diterapkan, tidak mungkin anak-anak bisa melakukan kekerasan sebrutal itu,” ujar Diah, praktisi pendidikan Blitar.
Ia juga menyoroti lemahnya regulasi internal di sekolah-sekolah. “Sekolah lebih takut dilaporkan orang tua murid ketimbang menegakkan disiplin. Akibatnya, guru memilih diam, dan siswa tumbuh tanpa kendali moral,” pungkas Diah.
Insiden di SMPN 3 Doko dinilai sebagai puncak gunung es dari masalah laten di dunia pendidikan Blitar. Jaka Prasetya mendesak Dinas Pendidikan untuk segera mencopot kepala sekolah dan mengevaluasi seluruh jajaran pendidik yang dinilai lalai.
“Kalau tidak ada sanksi tegas, maka ini akan jadi preseden buruk. Anak-anak akan berpikir bahwa kekerasan bisa diselesaikan dengan damai, tanpa tanggung jawab. Ini bahaya!” tegasnya.
Ia juga meminta adanya pendampingan psikologis bagi korban dan rehabilitasi moral bagi para pelaku.
Kasus perundungan massal di SMPN 3 Doko seharusnya menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan. Ketika anak-anak usia belia bisa melakukan kekerasan seperti ini di bawah pengawasan institusi pendidikan, maka kita sedang menyaksikan hancurnya nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam sistem belajar kita.
Tidak cukup hanya damai. Tidak cukup hanya surat pernyataan. Dunia pendidikan membutuhkan ketegasan, keadilan, dan keberanian untuk berkata: Bullying adalah kejahatan, bukan sekadar kenakalan.(*)