KETIK, HALMAHERA SELATAN – Pada barisan manusia yang menegakkan tubuh dalam upacara penurunan bendera HUT ke-80 Republik Indonesia di Halmahera Selatan, dua tubuh mungil menyelinap di antara seragam khidmat para siswa SMA, ASN, hingga barisan TNI dan Polri.
Mereka bukan pasukan penurunan, bukan pula petugas protokoler, melainkan Naura, murid kelas 5 SD Negeri 8 Halmahera Selatan, dan salah satu siswa kelas 2 SD Insan Kamil.
Sejak matahari mulai condong, keduanya berdiri tanpa jeda. Tidak ada kursi kehormatan, apalagi dispensasi karena usia.
Kedua siswa SD Dirangkul Hangat Kadisdik Halmahera Selatan Siti Khodijah (Foto: Mursal/Ketik)
Barangkali inilah pukulan yang datang tanpa sengaja, ketika banyak orang dewasa menimbang hadir atau tidak di hari bersejarah bangsa, dua bocah justru berdiri tegap, seolah tahu bahwa kemerdekaan bukan sekadar kata, melainkan latihan fisik dan batin.
Usai bendera diturunkan, barisan resmi bubar. Namun justru saat itulah sorot mata tertuju pada dua bocah ini. Mereka diarahkan ke kursi tamu kehormatan, dirangkul penuh rasa oleh Kepala Dinas Pendidikan Halsel, Siti Khodijah. “Kenapa ikut upacara?” tanya sang Kadis. Jawab mereka polos: “Ikut orang tua.” Jawaban sederhana, tetapi barangkali lebih jujur dari pidato panjang para politisi.
Tak berhenti di sana, Wakil Bupati Halmahera Selatan, Helmi Umar Muchsin yang juga bertindak sebagai Inspektur Upacara merangkul keduanya bersama Ketua Gabungan Organisasi Wanita, Mardiana Helmi.
Kehangatan itu tak sekadar simbol, sebab kemudian beberapa pejabat memberikan hadiah berupa uang tunai. Sebuah penghargaan kecil yang seakan menebus keringat bocah-bocah yang berdiri sejajar dengan orang dewasa.
Kedua anak ini memang tak tahu persis arti geopolitik, tak menakar makna sejarah dengan teori, dan tak mengutip teks proklamasi dengan artikulasi lantang. Namun, sikap tegap mereka berdiri dari awal hingga akhir adalah bentuk “puisi diam” yang barangkali lebih dalam maknanya.
Di pundak kecil itu, kita melihat refleksi, semangat yang lahir bukan karena diminta, melainkan karena terbiasa.
Jika anak-anak ini bisa berdiri di antara lautan dewasa dengan wajah teduh, bukankah kita, yang mengaku sudah merdeka, tak pantas lagi mencari alasan untuk goyah?
Dan jika benar doa bisa menular, semoga semangat bocah kecil dari Bacan, menjalar hingga ke liang kubur para pahlawan sebagai bisikan syukur bahwa Indonesia belum kehabisan generasi yang berani berdiri, meski dengan tubuh mungil dan niat sederhana.