Tak Ada Mata Kuliah! Uniknya Sistem Pendidikan di Eropa, Kisah Miftahul Huda Dosen UIN Malang Raih Doktor di Universitas Antwerpen

10 Desember 2025 18:45 10 Des 2025 18:45

Thumbnail Tak Ada Mata Kuliah! Uniknya Sistem Pendidikan di Eropa, Kisah Miftahul Huda Dosen UIN Malang Raih Doktor di Universitas Antwerpen
Miftahul Huda dalam acara public defense di Universitas Antwerpen, Belgia. (Foto: Dok. Ketik.com)

KETIK, MALANG – Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menambah deretan daftar dosen bergelar doktor. Wakil Dekan II Fakultas Humaniora UIN Malang, Miftahul Huda, resmi menyandang gelar doktor setelah menyelesaikan studi S3-nya di Universitas Antwerpen, Belgia.

Sekitar empat tahun, Miftah menyelesaikan study by research di Universitas Antwerpen, Belgia sejak April 2021. Tak lama setelah menginjakkan kaki di Tanah Air, Miftah langsung diberi amanah sebagai Wakil Dekan II Fakultas Humaniora UIN Malang. Miftah dilantik pada Agustus 2025 lalu.

Miftah merupakan lulusan Magister Pendidikan Bahasa inggris di Universitas Negeri Malang (UM). Kini, ia resmi bergelar Ph.D di bidang Linguistics and Literature.

Empat tahun tinggal di Eropa menyisakan banyak pengalaman baru bagi Miftah. Kisah unik seputar budaya, pendidikan, sosial, hingga keagamaan menjadi momen tak terlupakan bagi pria asal Probolinggo itu.

Foto MIftahul Huda berpose di halaman depan Universitas Antwerpen. (Foto: Dok. Ketik.com)MIftahul Huda berpose di halaman depan Universitas Antwerpen. (Foto: Dok. Ketik.com)

Salah satu hal unik dalam sistem pendidikan di Eropa, khususnya di tempat ia menimba ilmu, yakni tidak ada perkuliahan wajib. Hanya ada dua syarat sebagai kelulusan studinya: doctoral course dan penelitian serta menulis disertasi.

‎‎"Di sana itu kalau mau lulus ada dua tugasnya. Satu, untuk memenuhi doctoral course. Dua, melakukan penelitian," tutur Miftah saat wawancara pada Jum'at, 5 Desember 2025.

‎‎Doctoral course, lanjut Miftah, seperti Sistem Satuan Kredit Kegiatan (SKKM) di UIN Malang. Di mana mahasiswa harus memenuhi minimal 30 poin untuk syarat kelulusan.

‎‎Artinya setiap kegiatan yang dilakukan, masing-masing memiliki nilai tertentu untuk diakumulasikan sampai memperoleh 30 poin.

‎‎"Misal, kalau menulis di jurnal internasional yang bereputasi maka poinnya itu empat," jelas Wakil Dekan II itu.

‎‎"Kalau misalnya ikut dalam seminar atau workshop yang sesuai dengan bidang, itu kalau satu jam poinnya 0,1 poin," beber pria yang pernah menjabat Ketua PCINU Belgia itu.

‎‎Tugas kedua yang dikerjakan Miftah untuk meraih gelar Ph.D pastinya tidak asing lagi bagi mahasiswa Indonesia, yaitu penelitian dan menulis disertasi. 

‎‎"Tugas yang nomor dua tentu melakukan penelitian dan menulis disertasi. Menulis skripsi lah kalau S1 itu," sebutnya.

‎‎Miftah menjelaskan, disertasinya harus diujikan di depan publik, layaknya skripsi di Indonesia. Untuk masuk ke tahap ujian disertasi, setiap mahasiswa harus memenuhi minimal 30 poin.

‎"Nah, untuk mendaftar itu supaya bisa ujian disertasi, 30 poin tadi harus selesai," katanya.‎

‎Menurut Miftah, konsekuensi jika belum menyelesaikan tugas pertama, maka belum bisa mengikuti ujian disertasi.‎

‎"Jadi kalau 30 poin itu nggak selesai, maka masih belum bisa untuk ujian," tegas Miftah.‎

‎Diartikan bahwa sistem pendidikan di Universitas Antwerpen lebih fleksibel. Tidak ada mata kuliah yang tersusun.

"Kekurangannya tidak ada mata kuliah yang terstruktur. Tetapi, kelebihannya kita bebas untuk memilih apa saja untuk mengembangkan diri kita," tutur alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo itu. (*)

Tombol Google News

Tags:

Miftahul Huda UIN Malang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Wakil Dekan II Fakultas Humaniora UIN Malang Fakultas Humaniora UIN Malang Sastra Inggris UIN Malang