Ketika berbicara tentang Generasi Emas Indonesia 2045, pikiran banyak orang sering tertuju pada pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, dan pemerataan pendidikan formal. Namun, ada satu aspek yang kerap luput dari sorotan, yaitu pilar-pilar psikologis yang menopang kemajuan tersebut.
Tanpa kualitas mental yang mumpuni, seluruh rencana besar hanya akan menjadi cetak biru yang indah di atas kertas. Generasi Emas bukan sekadar soal angka Produk Domestik Bruto atau peringkat perguruan tinggi di dunia, melainkan tentang membentuk manusia Indonesia yang tangguh menghadapi tantangan, mampu berempati, dan kreatif memecahkan masalah.
Tiga hal ini—daya juang, empati, dan kreativitas—adalah bekal psikologis yang menentukan sejauh mana kita dapat memanfaatkan momentum bonus demografi dan menghadapi tantangan global.
Daya juang atau grit adalah kombinasi antara ketekunan dan konsistensi dalam mencapai tujuan jangka panjang. Angela Duckworth, psikolog dari University of Pennsylvania, menemukan bahwa grit sering kali menjadi penentu kesuksesan yang lebih kuat dibandingkan kecerdasan murni.
Pada 2045, Indonesia akan dihadapkan pada persaingan global yang ketat. Banyak pekerjaan lama akan hilang, digantikan oleh profesi yang mungkin belum ada saat ini. Situasi ini menuntut generasi muda untuk tidak mudah menyerah meski jalan yang ditempuh penuh kegagalan dan hambatan.
Membangun daya juang berarti menanamkan pola pikir growth mindset, keyakinan bahwa kemampuan dapat berkembang melalui usaha, pembelajaran, dan kegigihan. Pendidikan yang hanya berfokus pada ujian akhir tidak cukup; diperlukan pengalaman belajar yang menumbuhkan keberanian mencoba, menerima kegagalan, dan bangkit kembali.
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, dan interaksi manusia kerap digantikan oleh layar. Meski konektivitas digital meningkat, rasa keterhubungan emosional justru bisa menurun. Di sinilah empati menjadi modal sosial yang sangat penting.
Empati adalah kemampuan memahami dan merasakan perasaan orang lain, sekaligus menjadi perekat kohesi masyarakat. Secara psikologi sosial, empati berperan mengurangi konflik, meningkatkan kerja sama, dan membangun rasa percaya antarindividu. Generasi yang berempati akan lebih mampu berkolaborasi lintas budaya, agama, dan latar belakang keterampilan yang sangat penting di dunia yang saling terhubung.
Indonesia yang beragam membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak dalam menyikapi perbedaan. Mengasah empati bisa dimulai dari pendidikan karakter sejak dini, melibatkan siswa dalam kegiatan sosial, serta membiasakan diskusi yang menghargai perspektif berbeda.
Selain itu, kreativitas adalah mesin inovasi yang mendorong kemajuan di tengah ketidakpastian. Kreativitas bukan hanya menghasilkan karya seni, tetapi juga menciptakan solusi baru yang bermanfaat. Dalam psikologi kognitif, kreativitas lahir dari kombinasi pengetahuan yang luas, kemampuan berpikir divergen, dan keberanian keluar dari pola pikir konvensional.
Bonus demografi akan menjadi peluang emas jika generasi muda mampu memanfaatkan kreativitasnya untuk menjawab berbagai tantangan bangsa dari energi terbarukan, sistem pangan berkelanjutan, hingga inovasi di bidang kesehatan mental. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih menekankan hafalan dan jawaban tunggal.
Padahal, dunia kerja masa depan menuntut keterampilan memecahkan masalah secara fleksibel. Pembelajaran perlu diarahkan pada proyek kolaboratif, riset lapangan, dan tantangan terbuka yang memicu inovasi.
Jika tiga pilar ini dilihat sebagai satu kesatuan, akan tampak bahwa membentuk Generasi Emas adalah pekerjaan multidimensi. Daya juang memberi energi untuk terus bergerak, empati menjaga agar langkah kita tidak mengorbankan kemanusiaan, dan kreativitas memastikan langkah itu relevan di masa depan.
Pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan media massa memegang peran penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai ini. Program pendidikan harus seimbang antara prestasi akademik dan pembinaan karakter. Dunia kerja perlu memberi ruang untuk berkembang, bukan sekadar menuntut hasil instan.
Di level keluarga, orang tua dapat menjadi teladan dalam bersikap gigih, peka terhadap orang lain, dan terbuka pada ide baru. Sementara media seharusnya mendorong narasi positif tentang kerja keras, kepedulian sosial, dan inovasi, bukan hanya sensasi dan konflik.
Generasi Emas 2045 bukanlah mimpi yang bisa terwujud hanya dengan pembangunan fisik dan ekonomi. Ini adalah proyek besar yang membutuhkan investasi jangka panjang dalam kualitas psikologis manusia Indonesia. Daya juang akan membuat kita tahan terhadap badai perubahan, empati akan menjaga kita tetap bersatu, dan kreativitas akan membawa kita melangkah lebih jauh.
Jika ketiganya kita tanamkan sejak sekarang, Indonesia tidak hanya akan merayakan 100 tahun kemerdekaan dengan bangga, tetapi juga siap memimpin di panggung dunia. Sebab, emas sejati bukanlah logam mulia yang berkilau di tangan, melainkan karakter mulia yang tertanam di hati generasi penerus bangsa.
*) Ahmad Afskar N. A merupakan Recruitment Officer PT. Permata Indonesia Sejahtera
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)