BPS Pekalongan: Data Kemiskinan Kami Lebih Relevan untuk Masyarakat Dibanding Bank Dunia

13 November 2025 18:52 13 Nov 2025 18:52

Thumbnail BPS Pekalongan: Data Kemiskinan Kami Lebih Relevan untuk Masyarakat Dibanding Bank Dunia
BPS Kota Pekalongan memberikan pengertian data kemiskinan di aula BPS Kota Pekalongan, 13 November 2025. (Foto: Diskominfo Kota Pekalongan)

KETIK, PEKALONGAN – Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekalongan mengimbau masyarakat untuk memahami konteks lokal dalam membaca dan menafsirkan data kemiskinan, menyusul munculnya perbedaan angka yang dirilis oleh Bank Dunia dan BPS Indonesia.

Perbedaan data ini sempat menimbulkan kebingungan di masyarakat, karena menurut laporan Bank Dunia, angka kemiskinan Indonesia mencapai 60,3 persen, sementara data resmi BPS menunjukkan angka sekitar 9 persen.

Ahli Statistik Pertama BPS Kota Pekalongan, Nadhifan Humam Fitrial, menjelaskan bahwa, perbedaan tersebut tidak berarti salah satu data keliru, melainkan disebabkan oleh perbedaan tujuan dan metode penghitungan antara kedua lembaga.

“Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan global sebesar 6,85 dolar AS per hari, yang berlaku untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia. Sedangkan BPS menghitung garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia sendiri,” terangnya, di Kantor BPS Kota Pekalongan, Kamis (13/11/2025).

Menurut Nadhif, garis kemiskinan versi BPS ditentukan melalui pendekatan kebutuhan dasar, yakni besarnya pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan perhitungan tersebut, rumah tangga dengan pengeluaran di bawah Rp2,8 juta per bulan dikategorikan sebagai miskin.

Sementara itu, data yang dirilis Bank Dunia bersifat universal dan digunakan untuk perbandingan antarnegara secara global. Karena bersifat agregat dan tidak mempertimbangkan perbedaan harga barang, daya beli, maupun konteks sosial-ekonomi di tiap negara, maka hasilnya tidak bisa langsung disamakan dengan kondisi kemiskinan di Indonesia.

"Angka dari Bank Dunia lebih menggambarkan posisi relatif Indonesia dibandingkan negara lain, bukan kondisi kesejahteraan masyarakat di dalam negeri secara spesifik,” tambahnya.

Lebih lanjut, Nadhif menegaskan bahwa, masyarakat perlu bijak dan kritis dalam memahami data statistik, termasuk tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa perbedaan angka menunjukkan adanya ketidaksesuaian.

“Data BPS lebih relevan untuk kepentingan nasional karena mencerminkan kondisi nyata masyarakat di lapangan. Data inilah yang digunakan pemerintah sebagai dasar perumusan dan evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan,” jelasnya.

Ia juga menambahkan, BPS terus berupaya meningkatkan literasi statistik masyarakat melalui berbagai kegiatan edukatif, seperti diseminasi data, pelatihan statistik dasar, hingga pemanfaatan data terbuka (open data). Tujuannya agar masyarakat, akademisi, dan pengambil kebijakan dapat memahami metodologi statistik secara tepat dan menggunakan data secara bertanggung jawab.

Lanjutnya, BPS bukan hanya lembaga penyedia angka, tetapi juga sumber pengetahuan bagi publik. Dengan memahami konteks di balik angka, masyarakat akan lebih mampu menilai dinamika sosial-ekonomi di daerahnya secara objektif.

"Dengan adanya penjelasan ini, kami berharap, masyarakat semakin cermat dalam menafsirkan perbedaan data antar lembaga, serta dapat menggunakan informasi statistik sebagai landasan berpikir rasional dalam menilai capaian pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, khususnya di Kota Pekalongan," pungkasnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

Lebih baik memakai data BPS BPS Pekalongan data kemiskinan bank dunia