KETIK, SURABAYA – Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Jawa Timur (jatim) merekomendasi pemerintah provinsi agar lebih adaptif dan inovatif dalam merancang kebijakan fiskal. Tuntutan ini disampaikan adanya tren penurunan dana Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat sejak tahun 2025.
Seperti diketahui penurunan TKD Jatim pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026 diproyeksikan signifikan sebesar Rp2,8 triliun atau sekitar 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
"Kondisi ini menuntut pemerintah provinsi agar lebih adaptif dan inovatif dalam merancang kebijakan fiskalnya," tegas Juru Bicara Badan Anggaran (Banggar) DPRD Jatim Erick Komala, saat rapat paripurna, di Gedung DPRD Jatim, Surabaya, Rabu, 12 November 2025.
“Tren penurunan TKD sejak tahun 2025 ini mencerminkan adanya konsolidasi fiskal pemerintah pusat, di mana dukungan transfer ke daerah lebih difokuskan pada efisiensi dan kinerja,” kata Juru Bicara Badan Anggaran (Banggar) DPRD Jatim Erick Komala, saat rapat paripurna, di Gedung DPRD Jatim, Surabaya, Rabu, 12 November 2025.
"Karena itu, kondisi ini menuntut pemerintah provinsi agar lebih adaptif dan inovatif dalam merancang kebijakan fiskalnya," ujar Erick dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Jatim Blegur Prijanggono itu.
Meski transfer dari pusat menurun, lanjut Erick, pelayanan publik dan program prioritas daerah harus tetap dapat dibiayai secara efektif dan berkelanjutan.
“Badan Anggaran sangat berharap besarnya dampak penurunan TKD ini masih mampu diantisipasi secara efektif oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam membiayai program prioritas dan pelayanan publik di tahun 2026,” tegasnya.
Menurut politisi PSI ini, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) selaku pihak yang memiliki mandat teknokratis dalam penyusunan dan perancangan APBD, perlu menjadikan kondisi tersebut sebagai momentum penting untuk melakukan reformasi dan restrukturisasi fiskal secara menyeluruh.
Erick menegaskan kebijakan fiskal Jawa Timur ke depan, harus lebih adaptif, berkeadilan, serta mampu memperkuat kemandirian daerah. Banggar mengingatkan Pemprov Jawa Timur tak boleh mengandalkan tren pendapatan yang stagnan, melainkan juga dengan menata ulang struktur penerimaan dan belanja agar lebih produktif, efisien, dan berorientasi pada hasil pembangunan nyata bagi masyarakat.
“Kebijakan fiskal Jawa Timur perlu ditata sedemikian rupa agar setiap rupiah anggaran benar-benar menghasilkan manfaat maksimal bagi pembangunan daerah secara berkelanjutan,” papar Erick saat menyampaikan laporan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2026.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah, Banggar merekomendasikan optimalisasi pemungutan pajak melalui digitalisasi dan pembaruan data wajib pajak. Tak hanya itu, perlu penguatan manajemen aset daerah oleh Badan Keuangan dan Aset Daera (BPKAD) melalui inventarisasi dan pemanfaatan aset idle.
Selain itu, kata Erick, revitalisasi BUMD perlu dilakukan lewat renegosiasi kontrak strategis, perbaikan anak perusahaan yang tidak sehat, dan optimalisasi aset PT. PWU serta PT. PJU. Banggar juga mendukung kenaikan Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau dari 3% menjadi 5% karena kontribusi Jawa Timur terhadap penerimaan nasional sangat besar.
Erick juga menyampaikan total belanja daerah Provinsi Jawa Timur ditetapkan sebesar Rp 27,22 triliun, dengan rincian sebagai berikut: belanja operasi (75%), belanja modal (5%), belanja tak terduga (0,6%), dan belanja transfer (19%).
Struktur belanja tersebut menghasilkan defisit sekitar 3,4% dari total belanja, yang akan ditutup melalui pembiayaan netto dari SiLPA Tahun 2025.
"Secara keseluruhan, belanja daerah tahun 2026 turun 17,5% dibandingkan APBD Perubahan 2025, mencerminkan perlunya efisiensi dan penyesuaian terhadap penurunan kapasitas fiskal daerah," tegas Erick.
Dalam aspek belanja daerah, Banggar menekankan efisiensi belanja karena porsi pegawai dan operasional tinggi, sementara belanja modal turun 49%. Maka dari itu, belanja modal perlu difokuskan pada infrastruktur publik dan fasilitas pendidikan-kesehatan.
Banggar juga mendorong audit program agar anggaran berdampak pada peningkatan IPM, serta adanya koordinasi antara provinsi, pusat, dan daerah agar proyek prioritas tetap berjalan meski TKD menurun.
Ketergantungan SiLPA
Pembiayaan daerah tahun ini mencatat pembiayaan netto sebesar Rp 916 miliar yang bersumber dari SiLPA 2025 sebesar Rp 925 miliar, seluruhnya digunakan untuk menutup defisit anggaran.
Banggar menyoroti tingginya ketergantungan pada SiLPA, yang mencerminkan belum optimalnya realisasi belanja dan perlunya perbaikan manajemen kas.
"Oleh karena itu, percepatan pelaksanaan program-program prioritas menjadi penting agar SiLPA tidak menumpuk secara signifikan dan manfaat APBD dapat segera dirasakan secara langsung oleh masyarakat," tandas Erick.
Pada akhir penyampaian laporan, Banggar menyimpulkan, APBD 2026 menunjukkan adanya tekanan fiskal yang signifikan akibat penurunan pendapatan dan belanja daerah.
Banggar juga menekankan perlunya reformasi dan restrukturisasi fiskal, penguatan pendapatan asli daerah melalui inovasi dalam pengelolaan pajak, aset, revitalisasi BUMD, disertai dengan efisiensi belanja dan peningkatan disiplin fiskal.
"Pengelolaan SiLPA harus dilakukan secara sehat dan produktif agar mendukung keberlanjutan program pembangunan dan manfaat anggaran bagi masyarakat," pungkasnya. (*)
