AI Akan Menggusur Tenaga Manusia? Ini Ulasan Bagus Muljadi

20 Desember 2025 07:45 20 Des 2025 07:45

Thumbnail AI Akan Menggusur Tenaga Manusia? Ini Ulasan Bagus Muljadi
Ilustrasi AI. (Foto: Pexels)

KETIK, JAKARTA – Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Menurut Bagus Putra Muljadi, profesor muda yang kini menjadi Assistant Professor di University of Nottingham, AI adalah kelanjutan alami dari revolusi industri yang telah berlangsung berabad-abad.

“Segala hal yang kita nikmati hari ini sebenarnya adalah produk dari otomatisasi dan teknologi. Sama seperti listrik atau mesin uap, AI itu tidak mungkin kita hindari. Pilihannya hanya dua: kita mengkapitalisasi AI, atau kita menjadi korbannya,” kata Bagus Muljadi dalam podcast Helmi Yahya Bicara, Jumat, 19 Desember 2025. 

Bagus menilai sikap sebagian masyarakat—terutama generasi yang lebih tua—masih cenderung menghindar dan skeptis terhadap AI. Ada keengganan untuk belajar, bahkan sikap sinis, yang menurutnya justru berbahaya di tengah perubahan besar yang sedang berlangsung.

“Setiap kali ada teknologi baru, ketakutan selalu muncul. Dulu mesin datang, orang takut kehilangan pekerjaan. Komputer hadir, ketakutan yang sama muncul. Sekarang AI. Tapi sejarah menunjukkan bahwa creative destruction tidak bisa dihindari,” ujar Bagus yang dikenal sebagai kreator konten soal edukasi Indonesia. 

Dalam teori ekonomi, creative destruction adalah proses di mana inovasi baru menggantikan sistem lama. Produk atau profesi yang tidak efisien memang akan tersingkir, tetapi pada saat yang sama kesejahteraan kolektif justru meningkat. Pekerjaan yang hilang akan digantikan oleh jenis pekerjaan baru.

“Yang seharusnya kita takuti bukan AI-nya, tetapi kemungkinan kita masuk ke kelompok yang tidak mampu mengkapitalisasi perubahan ini,” tegas Bagus yang dikenal kerap mengkritik sistem pendidikan di Indonesia ini. 

 

Bukan Soal IQ, Tapi Budaya Feodal

Menurut Bagus, hambatan terbesar Indonesia dalam menghadapi era AI bukanlah rendahnya kecerdasan intelektual (IQ), melainkan lemahnya analytical thinking dan critical thinking. Bahkan, ia menilai persoalan IQ sering kali terlalu dibesar-besarkan.

“Banyak yang sibuk memperdebatkan IQ bangsa, padahal itu sangat kontroversial. Ada buku yang bilang 78, ada yang bilang 90. Mengukur kecerdasan kolektif bangsa itu tidak sesederhana itu,” ujarnya.

Ia justru menyoroti feodalisme sebagai penghambat utama cara berpikir analitis dan kritis. Dalam masyarakat yang sangat hierarkis, orang kerap takut pada konsekuensi dari kesimpulan logis yang mereka buat.

“Analytical thinking itu liar. Dia hanya patuh pada premis. Hasilnya bisa membuat seseorang berubah total—dari sosialis ke kapitalis, dari ateis ke teis. Kalau orang tidak siap dengan konsekuensi itu, dia tidak akan berani berpikir analitik,” jelasnya.

Hal yang sama berlaku pada critical thinking. Dalam sistem feodal, mempertanyakan guru, dosen, atau atasan sering dianggap tabu. Padahal, berpikir kritis justru menuntut keberanian untuk mengatakan bahwa otoritas bisa salah.

“Kalau hasil critical thinking mengatakan profesor saya salah, berani tidak dia bilang begitu? Kalau tidak berani, maka critical thinking hanya jadi slogan,” kata Bagus.

Ia mengingatkan bahwa tanpa kebebasan berpikir, critical thinking hanya akan dipakai untuk membenarkan narasi yang sudah ada—membela kelompok, partai, atau atasan.

“AI sangat jago membuat narasi seperti itu,” tambahnya.

 

Manusia Akan Bertahan, Tapi Ada Harga yang Harus Dibayar

Menanggapi kekhawatiran bahwa AI akan mengalahkan manusia, Bagus justru optimistis. Ia merujuk pada konsep Lindy Effect, yakni teori yang menyebut bahwa sesuatu yang telah bertahan lama cenderung akan bertahan lebih lama lagi.

“Universitas sudah ada jauh sebelum revolusi industri pertama, dan tetap bertahan sampai sekarang. Manusia sebagai spesies juga sudah melewati perubahan ekstrem dalam sejarah evolusi. Secara probabilitas, kita akan bertahan melewati era AI,” jelasnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa selalu ada harga yang harus dibayar dari setiap revolusi teknologi. Salah satunya adalah pembentukan kelas sosial baru.

Bagus mencontohkan Inggris. Meski kini David Beckham adalah figur superkaya, ia tetap merasa sebagai bagian dari kelas pekerja. Hal itu tercermin dari sikap dan pilihan politiknya.

“Memori kelas itu diwariskan lintas generasi. Revolusi industri membentuk identitas sosial yang panjang dampaknya, dan AI juga akan melakukan hal yang sama,” katanya.

 

Tantangan Indonesia: Literasi dan Keberanian Berpikir

Ketika pembicaraan mengarah pada Indonesia, Bagus menilai tantangan terbesar bangsa ini bukan semata soal teknologi, melainkan literasi dan keberanian berpikir mandiri.

Tanpa budaya berpikir analitis dan kritis yang sehat, AI justru berpotensi memperkuat masalah lama: narasi sempit, pembenaran kekuasaan, dan minimnya keberanian intelektual.

“Kalau institusi tidak menciptakan ruang aman untuk berpikir bebas, lalu apa gunanya critical thinking?” pungkasnya.

Tombol Google News

Tags:

AI Kecerdasan Buatan Bagus Muljadi Bagus Putra Muljadi