71 Tahun Penghilangan Paksa Haji Sulong: Tragedi Politik dan Identitas di Patani, Thailand Selatan

14 Agustus 2025 18:25 14 Agt 2025 18:25

Thumbnail 71 Tahun Penghilangan Paksa Haji Sulong: Tragedi Politik dan Identitas di Patani, Thailand Selatan
Oleh: Muhammad Faizin Adi Permana*

Pagi hari di tanggal 13 Agustus 1954 adalah hari yang tak pernah kembali bagi masyarakat Melayu-Muslim Patani. Haji Sulong Abdul Kader Tohmina —ulama terkemuka sekaligus pemimpin masyarakat— meninggalkan rumahnya untuk memenuhi panggilan kepolisian rahasia Thailand (Santhibarn) di Songkhla. Ia ditemani anak sulungnya, Ahmad dan dua orang lain. Sejak itu, keempatnya lenyap tanpa jejak.

Bagi Patani, peristiwa ini bukan sekadar kehilangan sosok karismatik, tetapi juga simbol puncak represi negara terhadap identitas, budaya, dan aspirasi politik masyarakatnya.

 

Haji Sulong: Ulama yang Pulang untuk Membangun

Haji Sulong lahir di tengah denyut budaya Melayu-Islam Patani. Pada usia 12 tahun, ia menempuh pendidikan agama di Mekkah dan menghabiskan lebih dari satu dekade mendalami ilmu Islam di kota suci tersebut.

Kesempatan menetap seterusnya di tanah suci terbuka lebar, tetapi ia memilih pulang untuk membawa ilmu, mimpi dan tekad membangun masyarakatnya.

 

Foto Sosok Haji Sulong, ulama dan pahlawan yang sangat dihormati oleh masyarakat Patani di Thailand Selatan. (Istimewa)Sosok Haji Sulong, ulama dan pahlawan yang sangat dihormati oleh masyarakat Patani di Thailand Selatan. (Istimewa)

 

Ia mendirikan sekolah agama Islam pertama di Thailand, yang menjadi pusat pembelajaran dan pemberdayaan umat. Lewat pengajaran dan keteladanan, ia mengingatkan pentingnya menjaga bahasa, hukum Islam, dan jati diri Melayu di tengah arus asimilasi yang semakin deras.

 

Tujuh Tuntutan: Aspirasi yang Membentuk Sejarah

Pada 3 April 1947, Haji Sulong bersama Komite Islam Patani mengajukan tujuh tuntutan kepada pemerintah Thailand. Semua berangkat dari satu tujuan: mempertahankan hak kultural dan agama masyarakat Patani. Isinya antara lain:

1. Pemimpin lokal dipilih rakyat dan berasal dari empat provinsi selatan (Patani, Yala, Narathiwat, Satun)

2. 80 persen pegawai negeri di wilayah Patani adalah Muslim.

3. Bahasa Melayu dan Thai menjadi bahasa resmi bersama.

4. Bahasa Melayu diajarkan di sekolah dasar.

5. Penerapan hukum Islam dalam kasus keluarga melalui peradilan khusus.

6. Pendapatan daerah digunakan untuk kepentingan daerah.

7. Pembentukan Dewan Islam independen.

 

Jika di baca secara seksama, tujuh tuntutan tersebut sebenarnya amat jauh jauh dari radikalisme. Alih-alih pemberontakan, tujuh tuntutan itu adalah peta jalan integrasi yang adil. Namun, pemerintah hanya mengabulkan sebagian, itupun terbatas. Setelah kudeta militer, semua proses negosiasi dihentikan.

 

Foto Sekolah agama yang dibangun Haji Sulong untuk mendidik masyarakat muslim Melayu Patani. (Istimewa/ Haji Sulong Abdul Kadir Tomina Foundation)Sekolah agama yang dibangun Haji Sulong untuk mendidik masyarakat muslim Melayu Patani. (Istimewa/ Haji Sulong Abdul Kadir Tomina Foundation)

 

Kriminalisasi dan Bayang-Bayang Penjara

Pada 16 Januari 1948, Haji Sulong ditangkap dengan tuduhan menghasut dan menyebarkan dokumen yang dianggap mengancam integrasi nasional. Ia divonis 4 tahun 8 bulan penjara meski tuduhan pemberontakan tak terbukti. Bebas lebih awal pada Juni 1952, ia tetap hidup di bawah pengawasan ketat.

Dua tahun kemudian, panggilan polisi menjadi undangan menuju senyap. Setelah itu, dunia tak lagi mendengar suaranya. Suara sosok ulama yang amat mencintai masyarakatnya. 

 

Penghilangan Paksa: Tubuh Hilang, Pesan Bertahan

Tidak ada berita. Tidak ada sidang. Tidak ada pengakuan. Upaya keluarga mencari keadilan, termasuk menemui istri Perdana Menteri Jenderal Plaek Phibunsongkhram, tak membuahkan hasil.

Penyelidikan internal di era Jenderal Sarit Thanarat hanya menambah gelapnya kabar: Haji Sulong dan kawan-kawan diduga dibunuh, perut mereka dibelah, jasad dimasukkan dalam beton, lalu dibuang ke Danau Songkhla. Tidak ada satu pun pelaku yang diadili. Negara tetap bungkam.

Haji Sulong tidak pernah mengangkat senjata. Perjuangannya adalah perjuangan damai, -menegakkan martabat, bahasa, dan hukum Islam di Patani dalam bingkai keadilan.

Hingga kini, setiap 13 Agustus, masyarakat Patani memperingatinya sebagai hari hilangnya Haji Sulong. Ia menjadi pengingat bahwa penghilangan paksa adalah kejahatan yang merampas tidak hanya nyawa, tetapi juga memori kolektif sebuah bangsa.

 

Luka Kolektif yang Belum Terobati

71 tahun berlalu, tetapi luka itu tetap menganga. Penghilangan Haji Sulong bukan sekadar tragedi personal, melainkan bagian dari sejarah panjang penindasan dan asimilasi paksa di Thailand Selatan.

Di Patani, nama Haji Sulong adalah doa, seruan, dan peringatan. Bahwa sejarah tak boleh dihapus, dan identitas tak bisa dibungkam selamanya. (*)

 

*) Muhammad Faizin Adi Permana, merupakan jurnalis Ketik; anggota Sahabat Patani-Indonesia; dan Sekretaris 1 Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PC NU Jember. Awwabin H, adalah mahasiswa Magister Linguistik UGM asal Patani. 

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Patani Thailand Selatan Haji Sulong Melayu Haji Sulong Abdul Kader Tohmina Muhammad Faizin Adi Permana