KETIK, SLEMAN – Pemerintah Kabupaten Sleman menggelar upacara bendera untuk memperingati Hari Pahlawan. Kebijakan ini berbeda dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2025 lalu, ketika Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Sleman justru meniadakan upacara bendera.
Padahal, tugas Bakesbangpol secara jelas mencakup koordinasi, fasilitasi, dan penyelenggaraan upacara hari besar di tingkat daerah.
Di satu sisi, upacara bendera punya banyak fungsi penting. Selain menumbuhkan cinta tanah air dan nasionalisme, kegiatan ini juga menanamkan disiplin, melatih kepemimpinan, membangun tanggung jawab, dan memperkuat kekompakan serta identitas bangsa. Upacara pada hari besar nasional juga menjadi cara untuk menghormati simbol negara, mengenang jasa para pahlawan, dan merawat nilai-nilai Pancasila.
Karena itu, perbedaan sikap yang mencolok antara dua momen tersebut kembali memicu sorotan publik dan munculnya desakan agar pemerintah memberi klarifikasi.
Kontras Kebijakan Upacara
Dalam pantauan Ketik.com, Upacara Hari Pahlawan di lingkungan Pemkab Sleman berlangsung tertib, aman, dan khidmat pada Senin, 10 November 2025 di Lapangan Pemda Sleman. Meski begitu, acara ini tetap menyisakan tanda tanya publik soal insiden peniadaan upacara pada Hari Sumpah Pemuda sebelumnya.
Keputusan peniadaan yang dibuat Kesbangpol Sleman itu hingga kini belum diikuti tindakan maupun sanksi dari pemerintah daerah.
Peniadaan upacara pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025 menjadi polemik karena peringatan tersebut merupakan hari besar nasional yang sudah tercantum dalam kalender resmi pemerintah. Anggaran untuk kegiatan rutin ini juga disebut telah disiapkan sebelumnya. Jadi, alasan efisiensi yang mungkin digunakan sebagai dasar peniadaan dinilai tidak masuk akal.
Abdul Hakim, pengamat kebijakan publik di Yogyakarta, menegaskan bahwa alasan efisiensi anggaran terlalu lemah untuk membatalkan kegiatan yang sudah menjadi agenda tahunan pemerintah.
"Jika alasannya efisiensi, itu tidak masuk akal. Upacara hari besar nasional adalah kegiatan rutin tahunan yang anggarannya sudah dialokasikan dan terjadwal. Peniadaan sepihak seperti ini dapat mengindikasikan adanya kelalaian serius atau bahkan ada hal lain yang perlu diselidiki," kata Abdul Hakim, Senin, 10 November 2025.
Dalih Kesbangpol: Efisiensi dan Pergeseran Anggaran
Menanggapi polemik, Kepala Badan Kesbangpol Sleman, Samsul Bakri, sempat memberikan keterangan. Ia membenarkan peniadaan upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 tahun 2025 dengan mengedepankan dalih efisiensi anggaran.
"Mengingat bulan Oktober telah dilaksanakan upacara pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan Hari Santri. Biasanya setiap tahun kami melaksanakan upacara peringatan Sumpah Pemuda, tahun ini kebetulan ada efisiensi," dalih Samsul Bakri.
Ia menjelaskan bahwa efisiensi anggaran dilakukan karena dana yang seharusnya digunakan untuk upacara Sumpah Pemuda dipakai untuk menyelenggarakan upacara Hari Olahraga Nasional (Haornas), sebuah kegiatan yang tidak masuk anggaran Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).
Klarifikasi teknis dari Samsul Bakri ini langsung memicu kritik, karena dinilai menunjukkan perencanaan yang lemah dan seolah menomorduakan makna persatuan yang dibawa oleh Sumpah Pemuda.
Abdul Hakim kembali mempertanyakan alasan tersebut. Jika pemerintah bisa menggelar acara yang tidak dianggarkan, mengapa justru tidak mampu melaksanakan upacara yang sudah terjadwal dan disiapkan sejak jauh hari?
Desakan Klarifikasi dan Penyelidikan
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Badan Kesbangpol Sleman Samsul Bakri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peniadaan upacara Hari Sumpah Pemuda, belum menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik. Ketiadaan respons ini memperpanjang polemik dan memunculkan dugaan akan lemahnya akuntabilitas di tubuh birokrasi.
Sejumlah pihak mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera menyelidiki alasan di balik peniadaan upacara tersebut.
"APH harus mendalami secara serius, mengapa Pemkab Sleman, dalam hal ini Kesbangpol, tidak melaksanakan upacara Hari Sumpah Pemuda. Hal ini bukan hanya masalah administratif, tetapi menyangkut jiwa nasionalisme," ujar Abdul Hakim yang juga merupakan purnawirawan Marinir ini.
Ia mengingatkan bahwa Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, yang menegaskan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itulah, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai Hari Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 untuk mengenang ikrar persatuan para pemuda pada 28 Oktober 1928.
"Upacara bendera merupakan salah satu sarana untuk "membumikan" semangat kebangsaan dan meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan masyarakat dan aparatur sipil negara," ujarnya.
Ia menambahkan, lewat upacara seperti ini pemerintah sebenarnya melakukan pembinaan ideologi Pancasila, memperkuat wawasan kebangsaan, dan merawat persatuan nasional. Karena itu, keputusan meniadakan upacara hari besar nasional secara sengaja dikhawatirkan dapat melemahkan jiwa nasionalisme, baik di kalangan aparatur sipil negara maupun masyarakat.
Abdul Hakim pun mendorong agar dilakukan pendalaman investigatif terkait keputusan tersebut.
"Perlu dilakukan pendalaman investigatif baik soal penggunaan anggaran maupun terhadap potensi masuknya ideologi yang bertentangan dengan negara. Paham radikal bisa masuk di mana saja, dan birokrasi sebagai salah satu target," sebutnya.
Ia menegaskan bahwa melihat rangkaian peristiwa yang terjadi, pendapatnya tersebut cukup mendasar.
"Patut diduga pula, bisa jadi orang yang memutuskan tidak ada upacara perlu dicurigai terafiliasi dengan organisasi yang bertentangan dengan NKRI, mengindikasikan tersusupi paham radikal. Ini harus diusut tuntas, mengapa untuk menggelar upacara hari besar harus dipilih-pilih. Ingat jika ditiadakan maka lama-lama jiwa kebangsaan akan tergerus dan luntur," tegas Abdul Hakim menutup keterangannya. (*)
