KETIK, SURABAYA – Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Jakarta Prof. Dr. Juanda, SH, MH menilai pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak konstitusional Presiden RI yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat 11 Tahun 1954.
Hal ini menanggapi pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti untuk mantan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.
Menurut dia, abolisi merupakan kebijakan hukum dari Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang terdakwa dengan pertimbangan dan persetujuan DPR RI.
“Artinya perbuatannya tetap ada, tetapi dihentikan proses penuntutan dengan alasan untuk kepentingan negara,” ujarnya dalam siaran pers diterima di Surabaya, Senin, 4 Agustus 2025.
Sedangkan, kata dia, amnesti kebijakan hukum dari Presiden sebagai Kepala Negara untuk menghapus hukuman pidana terhadap seorang terpidana.
“Jadi amnesti meniadakan hukuman pidana sehingga perbuatan pidana dianggap tidak pernah ada," ucap dia.
Terkait apakah abolisi itu tepat diberikan kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto? Menurut Juanda, secara akademis hal itu bisa diperdebatkan, tergantung perspektif masing-masing.
"Bisa saja ada pakar yang mengatakan tepat, tetapi ada juga yang berpendapat tidak. Yang jelas secara subjektif itu hak Presiden. Oleh karena itu pasti ada alasan alasan hukum dan politik,” tutur dia.
Ia lantas menjelaskan bahwa alasan hukum pemberian abolisi dan amnesti bisa jadi berdasar pada UUD 1945 dan Undang-Undang berlaku bahwa Presiden ingin memberikan keadilan kepada yang bersangkutan terdakwa atau terpidana.
Namun, ia menegaskan bahwa pemberian keadilan ini tidak tunggal atau terlepas dengan persoalan pertimbangan politik praktis.
Apalagi, lanjut dia, saat itu Hasto adalah masih berstatus sebagai Sekjen PDI Perjuangan yang tentu bisa dikait-kaitkan dengan status jabatan politik sangat strategis dan kuatnya pengaruh Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Bisa jadi Presiden Prabowo mempertimbangkan secara politik pentingnya membangun hubungan yang baik serta mengobati kekecewaan Megawati terhadap proses hukum yang terjadi terhadap Hasto,” kata dia.
“Faktanya sampai amnesti diberikan dan kongres PDIP di Bali usai, jabatan sekjen masih dikosongkan. Belum diisinya jabatan tersebut memberikan sinyal bahwa itu tetap diperuntukkan untuk Hasto,” tambah Prof Juanda.
Ia juga menyampaikan jika hanya alasan politik semata maka kebijakan amnesti tersebut kurang tepat dan tidak adil hanya diberikan kepada Hasto karena dapat timbul kecemburuan dengan terpidana lain.
“Apalagi Hasto merupakan terpidana soal kasus korupsi, menurut kacamata hukum saya, seharusnya untuk terpidana korupsi amnesti tidak diberikan, walaupun itu hak Presiden,” katanya.
Selain itu, menurut dia esensi kebijakan hukum amnesti pada dasarnya diperuntukkan untuk terpidana politik sehingga subversive dengan pertimbangan untuk memulihkan kestabilan politik dalam negeri yang sedang bergejolak dan demi keutuhan bangsa maka amnesti diberikan.
“Sementara Hasto itu bukan terpidana politik, tetapi terpidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat elite politik,” tuturnya.
Pakar Hukum Tata Negara yang dikenal sangat objektif itu melanjutkan bahwa dari aspek kestabilan politik saat ini masih cukup stabil dan tidak ada potensi disintegrasi bangsa.
“Oleh karena itu akibat amnesti diberikan kepada Hasto terpidana korupsi, ini dapat menimbulkan berbagai penafsiran-penafisaran subjektif dari pihak-pihak tertentu," ucapnya.
Sementara itu, terkait pemberian abolisi kepada Tom Lembong, Prof Juanda menilainya sebagai kebijakan hukum terlambat. Seharusnya, kata dia, sejak awal sebelum memasuki tuntutan, Presiden langsung memberikan abolisi jika melihat dan menilai Tom Lembong layak diberikan.
Ia menegaskan jika alasan hukumnya karena perbuatan hukum Tom Lembong saat menjabat Menteri tahun 2015-2016 ada manfaat dan keuntungannya untuk negara atau diduga merugikan negara, tetapi alasannya untuk kepentingan negara bisa saja diberikan abolisi.
"Terlalu lama sampai 9 bulan itu baru diberikan, bahkan sudah diputuskan oleh pengadilan. Agak terlambat Tim Hukum Istana memberikan masukan kepada Presiden. Namun demikian, demi keadilan dan tegaknya prinsip negara hukum lebih baik terlambat daripada tidak diberikan," katanya.
Terkait apakah ada atau tidak intervensi politik, Prof Juanda berpendapat bahwa mau tidak mau, suka atau tidak suka dalam setiap pemberian abolisi dan amnesti sulit dihindari dari kata intervensi.
"Sudah pasti itu tindakan hukum Presiden memang beraspek politik. Intervensi yang dibenarkan oleh konstitusi dan UU berlaku," katanya.
Menurut dia, tidak ada yang salah apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo dalam abolisi dan amnesti karena memang wewenang Presiden serta intervensi itu dibenarkan oleh hukum.
“Tinggal persoalannya apakah alasan-alasan yang disampaikan oleh Menteri Hukum memenuhi kriteria dan persyaratan dipersyaratkan untuk abolisi dan amnesti dapat diterima dalam perpesktif argumentasi hukum objektif atau tidak. Ini masih menyisakan perdebatan secara akademis dan praktis,” pungkasnya. (*)