KETIK, CILACAP – Sengketa tanah di Jalan Kokosan, Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, antara warga RT 05 RW 14 dengan pihak Suwarni memasuki babak baru.
Warga bersikukuh tetap menempati lahan yang sudah mereka huni puluhan tahun. Mereka mengklaim lahan tersebut merupakan tanah eigendom yang diwariskan oleh leluhur.
“Kami ingin tetap tinggal di tanah warisan orang tua kami. Bapak saya sekarang berusia 74 tahun, berarti itu peninggalan mbah dan mbah buyut saya. Saya generasi keempat, lebih dari 80 tahun menempati tanah ini,” kata Koordinator Lapangan, Sampurna Giyanto, mewakili warga.
Hal senada disampaikan Anto, perwakilan warga lainnya. Menurutnya, sengketa tanah ini sudah berlangsung sejak 2008. “Tahun 2008 pernah digugat, warga menang. Tapi pada 2017 digugat kembali hingga kasasi dan peninjauan kembali (PK), kami yang kalah,” jelasnya.
Anto menambahkan, jauh sebelum sengketa mencuat, pemilik tanah eigendom pertama pernah menanyakan status tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada 1988. Saat itu, kata dia, BPN bahkan meminta warga memasang patok sebagai syarat pengajuan sertifikasi.
“Jadi sejak dulu warga sudah berniat mengurus sertifikat tanah ini. Kami yakin tanah ini tanah eigendom, bukan milik pribadi. Karena itu kami bertahan,” tegasnya.
Salah satu warga Rt 05 Rw 15 Kelurahan Tambakreja menunjukkan Sertifikat yang menjadi Sertifikat tumpang tindih atas nama Suwarni. (Foto:Nani Eko/Ketik)
Untuk langkah selanjutnya, warga berencana berkoordinasi dengan tim kuasa hukum dan mengupayakan penyelesaian melalui jalur musyawarah.
Sementara itu, kuasa hukum warga, Bambang Sri Wahono, menduga adanya keterlibatan mafia tanah dalam kasus ini. Ia menilai terdapat kejanggalan pada dokumen sertifikat tanah yang dimiliki pihak penggugat.
“Warga awalnya menempati tanah eigendom. Tiba-tiba muncul sertifikat atas nama pihak lain. Pertanyaannya, apakah sertifikat itu dibuat melalui jual beli dengan negara atau tidak? Ada indikasi praktik mafia tanah di sini,” ujarnya.
Bambang menyebut, pihak penggugat dalam dokumen desa hanya memiliki tanah seluas 448 meter persegi. Namun, dalam sertifikat yang terbit, luas tanah berubah drastis menjadi 4.480 meter persegi.
“Ini aneh sekali. Artinya ada oknum yang membantu. Karena itu, kami akan melapor ke kepolisian,” tegas Bambang.
Ia juga mendesak Bupati Cilacap dan DPRD untuk turun tangan mengatasi persoalan ini. “Jangan diam saja. Ada 17 kepala keluarga yang sudah lama menempati tanah tersebut dan semuanya sudah meminta izin ke negara,” katanya.
Menurut Bambang, warga sudah menempuh berbagai upaya hukum, termasuk kasasi dan PK. Namun, ia menilai keberadaan mafia tanah membuat hak warga terabaikan.
“Lebih baik kami bawa kasus ini ke polisi agar terang benderang,” pungkasnya. (*)