Sejarah Kalender Masehi: Dari Kekacauan Zaman Romawi hingga Menjadi Standar Waktu Dunia

28 Desember 2025 23:00 28 Des 2025 23:00

Thumbnail Sejarah Kalender Masehi: Dari Kekacauan Zaman Romawi hingga Menjadi Standar Waktu Dunia
Ilustrasi Kalender. (Foto: Pexels)

KETIK, JAKARTA – Kalender Masehi yang kini digunakan secara luas di berbagai belahan dunia memiliki sejarah panjang yang berakar dari peradaban Romawi dan perkembangan ajaran Kristen. 

Sistem penanggalan ini tidak lahir secara instan, melainkan melalui serangkaian pembaruan untuk menyesuaikan perhitungan waktu dengan peredaran matahari, sekaligus menandai peristiwa penting dalam sejarah keagamaan, khususnya kelahiran Yesus Kristus yang kemudian dijadikan titik awal penomoran tahun.

Sebelum Kalender Masehi dikenal, bangsa Romawi menggunakan sistem penanggalan yang hanya terdiri dari 10 bulan dengan total 304 hari. Sistem ini kemudian diperbarui oleh Raja Numa Pompilius dengan menambahkan bulan Januari dan Februari. 

Meski demikian, kalender tersebut masih berbasis pada siklus bulan (lunar), sehingga jumlah harinya lebih pendek dibandingkan tahun matahari. Akibatnya, hari-hari besar dan musim kerap bergeser dari waktu yang seharusnya.

Untuk mengatasi ketidaksesuaian itu, para pendeta Romawi sering menambahkan hari secara tidak teratur. Praktik ini justru membuat kalender semakin rumit dan rawan dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Kekacauan tersebut akhirnya diakhiri pada tahun 46 SM ketika Julius Caesar melakukan reformasi besar-besaran terhadap sistem penanggalan Romawi. Setelah meminta bantuan astronom Yunani bernama Sosigenes, Caesar menetapkan kalender baru yang mulai berlaku pada 1 Januari 45 SM. 

Dalam sistem ini, satu tahun ditetapkan berjumlah 365,25 hari, dengan penambahan satu hari setiap empat tahun sekali pada bulan Februari yang kini dikenal sebagai tahun kabisat.

Sebagai bentuk penghormatan, bulan Quintilis diubah namanya menjadi Juli, sesuai dengan nama Julius Caesar. Kelak, penerusnya, Kaisar Augustus, juga mengubah nama bulan Sextilis menjadi Agustus.

Meski Kalender Julian tergolong sangat akurat untuk masanya, sistem ini menyimpan kesalahan kecil. Panjang satu tahun sebenarnya bukan 365,25 hari, melainkan sekitar 365,24219 hari. Selisih sekitar 11 menit per tahun ini tampak sepele, namun setelah 1.600 tahun, perbedaannya menumpuk hingga mencapai sekitar 10 hari. 

Dampaknya cukup serius, terutama bagi Gereja Katolik, karena titik balik musim semi (ekuinoks) yang menjadi acuan penentuan Hari Raya Paskah bergeser dari tanggal semestinya.

Istilah “Masehi” sendiri baru muncul pada abad ke-6, sekitar tahun 525 M, melalui gagasan seorang biarawan bernama Dionysius Exiguus.

Saat itu, penanggalan masih didasarkan pada masa pemerintahan kaisar Romawi, yang kerap dikenal sebagai penindas umat Kristen. Dionysius mengusulkan sistem baru yang berpusat pada kelahiran Yesus Kristus.

Dalam bahasa Latin, sistem ini disebut Anno Domini (AD) yang berarti “Tahun Tuhan Kita”. Di Indonesia, istilah tersebut dikenal sebagai Masehi, yang berasal dari gelar Yesus, yakni Al-Masih.

Periode sebelum kelahiran Yesus disebut Before Christ (BC) atau Sebelum Masehi (SM). Menariknya, sistem ini tidak mengenal Tahun 0, sehingga penanggalan langsung melompat dari 1 SM ke 1 Masehi.

Reformasi terakhir dilakukan pada 1582 melalui Kalender Gregorian yang diperkenalkan oleh Paus Gregorius XIII. Awalnya, kalender ini hanya diadopsi oleh negara-negara Katolik seperti Italia, Spanyol, dan Prancis. Negara-negara Protestan dan Ortodoks, termasuk Inggris, Jerman, dan Rusia, sempat menolaknya karena dianggap sebagai campur tangan Paus.

Namun, karena tingkat akurasinya yang tinggi dan sangat penting bagi perkembangan sains, navigasi, serta perdagangan, kalender ini akhirnya diterima secara luas.

Inggris mengadopsinya pada 1752, Jepang pada 1873, Tiongkok pada 1912, dan Rusia pada 1918. Kini, Kalender Masehi atau Gregorian menjadi standar internasional utama dalam kehidupan modern.

Tombol Google News

Tags:

kalender sejarah Tahun baru Tahun Masehi