KETIK, SURABAYA – Ratusan santri yang tergabung dalam Himpunan Alumni Santri dan Simpatisan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Lepelle (HIASAN-MU), Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, Madura, menggelar aksi demonstrasi besar di depan The Trans Icon, Surabaya, Jumat, 17 Oktober 2025.
Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap program televisi Xpose Uncensored yang ditayangkan di Trans7. Para peserta aksi menilai tayangan tersebut menghina ulama dan mencemarkan nama baik pesantren, khususnya dengan menampilkan narasi yang dianggap merendahkan tokoh-tokoh kiai, seperti KH Anwar Manshur dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, serta KH Ali Mustakim dari Pondok Pesantren Miftahul Ulum Lepelle,Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang.
Koordinator aksi, Mat Jusi, menyampaikan orasi dengan suara lantang di hadapan gerbang Trans Icon Mall. Dalam orasinya, ia menuntut permintaan maaf resmi dari pimpinan Trans7 dan pemilik TransCorp, Chairul Tanjung, atas penayangan yang dianggap tidak beretika tersebut.
“Ini bukan perkara sepele. Tuntutan kami jelas: permintaan maaf resmi dari pimpinan tertinggi Trans7, yaitu Choirul Tanjung harus sowan ke Kh Ali Mustaqim Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Lepelle,” ujar Mat Jusi yang disambut pekikan ‘betul!’ dari ratusan santri.
Dalam pernyataannya, Mat Jusi menegaskan bahwa apabila tuntutan tidak dipenuhi, aksi akan berlanjut dan meluas. Ia bahkan menyebutkan kemungkinan boikot terhadap seluruh anak perusahaan TransCorp.
“Kalau tidak ada respons, kami akan menduduki seluruh jaringan anak perusahaan TransCorp. Ini bukan gertakan kosong,” tegasnya.
"Kami santri yang dikenal dengan kaum sarungan, namun kami tidak gentar bertarung dengan choirul Tanjung," imbuhnya.
Para peserta aksi membawa berbagai poster protes bertuliskan, antara lain, “Harga Diri Pesantren Tidak Dijual di Layar Sensasi Murahan” dan “Pesantren Disudutkan, Trans7 Harus Dihukum, Jangan Biarkan Fitnah Jadi Hiburan.”
Aksi massa juga dimeriahkan dengan pemukulan beduk yang dibawa dari pesantren sebagai simbol protes. Meski berlangsung dengan semangat tinggi, massa memastikan bahwa aksi tetap berada dalam koridor damai.
“Kami ini santri, bukan demonstran bayaran. Aksi ini lahir dari diskusi panjang, bukan dadakan,” tambah Mat Jusi.
Mat Jusi juga menyatakan bahwa permintaan maaf dari pihak Trans7 sebelumnya dinilai tidak menyentuh substansi persoalan dan cenderung melempar tanggung jawab kepada rumah produksi.
“Trans7 tidak bisa cuci tangan. Media sebesar itu seharusnya mengontrol isi siarannya,” ujar salah satu orator.
Lebih lanjut, massa menuntut tanggung jawab langsung dari Chairul Tanjung sebagai pemilik Trans7 dan TransCorp. Mereka mendesak adanya klarifikasi dan permintaan maaf terbuka kepada KH Ali Mustakim, seluruh santri, serta seluruh kiai dan pesantren di Indonesia.
HIASAN-MU juga mengeluarkan lima poin tuntutan resmi:
1. Permintaan maaf terbuka dan resmi dari Chairul Tanjung, Trans7, serta tim Xpose Uncensored kepada KH Ali Mustakim, seluruh santri dan simpatisan pesantren, serta seluruh kiai dan pesantren di Indonesia. Permintaan maaf harus disiarkan secara nasional dengan format dan durasi yang sebanding dengan tayangan yang dinilai mencemarkan nama baik.
2. Klarifikasi publik dari Trans7 mengenai proses produksi tayangan, termasuk sumber narasi dan data, proses verifikasi redaksional, dan alasan penyusunan narasi.
3. Sanksi internal terhadap tim produksi Xpose Uncensored dan pertanggungjawaban etik jurnalistik dari seluruh pihak yang terlibat.
4. Tuntutan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar memberikan sanksi tegas atas pelanggaran kode etik jurnalistik dan penyiaran.
5. Bila dalam waktu 3 x 24 jam tuntutan tidak dipenuhi, HIASAN-MU menyatakan akan menggelar aksi massa lanjutan secara damai, mengajukan gugatan hukum, serta menyerukan boikot terhadap Trans7 dan seluruh anak perusahaan TransCorp.