Program Makan Bergizi Gratis vs Limbah Makanan, Apa yang Salah?

2 November 2025 01:00 2 Nov 2025 01:00

Thumbnail Program Makan Bergizi Gratis vs Limbah Makanan, Apa yang Salah?
KH. Imam Mawardi pengasuh pondok Al Azhaar Tulungagung.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah berjalan. Namun, di sisi lain, muncul persoalan yang cukup mengkhawatirkan. Yaitu limbah makanan. Food Waste.

Makanan yang disiapkan dengan anggaran negara, dengan niat mulia, justru berakhir di tempat yang tidak mulia—tempat sampah. Mengapa ini terjadi? Salah satu sebabnya adalah menu yang tidak sesuai selera anak. Ada juga makanan yang kurang segar, teksturnya tidak menarik, rasanya tidak menggugah.

Maka anak-anak, para penerima manfaat (PM), hanya mencicipi sedikit, lalu menyisakan banyak. Ini bukan sekadar soal rasa. Ini soal sistem.

Soal evaluasi. Food waste bukan sekadar angka. Ia berdampak sosial dan lingkungan. Makanan yang terbuang berarti uang rakyat yang terbuang. APBN yang masuk tong sampah. Dan lebih dari itu, limbah makanan yang tidak dikelola bisa menjadi sumber pencemaran, bau tak sedap, dan penyakit.

Di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Khusus Pesantren Al Azhaar Kedungwaru, Tulungagung, food waste tercatat sekitar dua persen (2%) setiap hari. Angka ini diperoleh dari proses pengumpulan, penimbangan, dan pengelompokan sisa makanan berdasarkan lokasi PM. Hasil akhirnya: dua persen.

Apakah ini tinggi, sedang, atau rendah? Saya tidak punya referensi. Tapi saya tahu, dua persen dari 3.998 PM bukan angka kecil. Ahli gizi kami, Mbak Yeni, tidak tinggal diam. Jika hasil evaluasi menunjukkan ada menu yang tidak disukai anak-anak, ia segera merancang ulang. Menu diganti. Rasa diperbaiki.

Tekstur disesuaikan. Tujuannya satu: agar makanan habis disantap, bukan dibuang. Agar program MBG tidak menjadi program kemubadziran. Mbak Yeni juga aktif memberi penyuluhan. Bersama Kasatpel SPPG, ia mendatangi wali kelas dan guru. Mereka diajak untuk memotivasi murid agar mensyukuri dan menikmati makanan MBG.

Tanpa penyuluhan, perubahan sulit terjadi. Tanpa motivasi, makanan tetap tersisa. Dan uang rakyat tetap terbuang. Di dapur SPPG, pemilihan bahan makanan menjadi prioritas. Harus segar. Harus terbaik.

Relawan pengolahan dilatih agar mampu menjaga kesegaran makanan. Tidak boleh ada bau kurang sedap. Apalagi bau busuk. Makanan harus menggugah selera, bukan menutupnya. Penyajian pun dibagi dalam delapan golongan, sesuai usia dan kebutuhan PM: - Bayi dan balita - PAUD dan TK - Kelas 1–3 SD - Kelas 4 SD - SMP - SMA - Ibu hamil dan menyusui. Pekerjaan ini super ribet. Tapi harus dilakukan. Agar makanan tepat sasaran.

Agar food waste bisa diminimalisir. Di SPPG Khusus Pesantren Al Azhaar, sisa makanan tidak langsung dibuang. Para relawan yang berkenan, membawa pulang sisa makanan untuk pakan ternak.

Inisiatif ini sederhana, tapi bermakna. Dari sisa menjadi manfaat. Dari limbah menjadi berkah. Program MBG bukan sekadar urusan dapur. Ia adalah cermin dari niat baik negara, dari semangat pelayanan, dari tanggung jawab sosial. Maka kita harus menjaganya. Dengan rasa. Dengan sistem. Dengan penyuluhan.

Dengan cinta. Agar tidak ada lagi makanan yang terbuang. Agar tidak ada lagi uang rakyat yang masuk tong sampah. Agar MBG benar-benar menjadi program bergizi—secara fisik, sosial, dan spiritual. Penulis: Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Tombol Google News

Tags:

MBG SPPG Tulungagung