Politikus Blitar Banting Stir Jadi Petani Melon: Kebun Hidroponik Jadi Wisata Petik Cuan Jutaan

3 November 2025 15:40 3 Nov 2025 15:40

Thumbnail Politikus Blitar Banting Stir Jadi Petani Melon: Kebun Hidroponik Jadi Wisata Petik Cuan Jutaan
Bayu Setyo Kuncoro, bersama para biksu yang tengah memborong melon hasil kebunnya, Senin 3 November 2025. (Foto: Favan/Ketik.com)

KETIK, BLITAR Dulu, Bayu Setyo Kuncoro disibukkan dengan strategi politik di ruang rapat partai. Kini, ia justru mengatur kelembapan udara dan kadar nutrisi air di sebuah rumah plastik berukuran sedang, yang terletak di Kelurahan Gedog, Sananwetan, Kota Blitar.

“Kalau dulu rapat sampai malam, sekarang saya ngurus tanaman sampai malam,” ujarnya sambil tersenyum.

“Bedanya, di sini hasilnya bisa langsung saya rasakan," imbuhnya.

Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Blitar itu menempuh jalan sunyi setelah gagal dalam kontestasi politik lokal beberapa tahun lalu. Kekalahan yang semula pahit itu justru menjadi pintu menuju babak hidup baru: menjadi petani hidroponik.

“Waktu itu saya sempat kecewa, pasti. Tapi setelah saya renungkan, mungkin ini saatnya saya kembali ke akar ke sesuatu yang lebih nyata, lebih membumi,” katanya, Senin, 3 November 2025.

Bayu mengubah sebidang tanah di kawasan Ngrebo menjadi rumah tanam berlapis plastik tebal. Dari situlah ia menanam 1.000 batang melon varietas premium: Honey Globe, Intanon, Fuji Sawa, dan Sweet Lavender.

“Kalau mau bersaing, harus punya nilai lebih,” ujarnya.

“Saya ingin buah yang saya tanam punya kualitas unggul dan bisa diterima pasar premium,” lanjutnya.

Sistem hidroponik yang digunakannya menuntut ketelitian tinggi. Ia mesti menjaga suhu, sirkulasi udara, dan pencahayaan. Dalam satu siklus tanam selama 70 hari, Bayu dan beberapa pekerjanya merawat tanaman itu nyaris tanpa jeda.

Biaya produksinya mencapai Rp6–8 juta per masa tanam meliputi pembelian bibit, pupuk, listrik, hingga upah pekerja.

“Tapi saya tidak pernah merasa rugi,” katanya pelan.

“Setiap buah yang tumbuh itu seperti anak sendiri,” sambungnya.

Ketika masa panen tiba, Bayu merasakan hasil kerja kerasnya terbayar. Setiap buah melon berbobot 1,5–2 kilogram dijual Rp25 ribu per kilogram. Produknya kini dikirim ke Jakarta, Sukabumi, Banyumas, hingga Semarang.

“Pasar menyambutnya dengan antusias. Saya sempat kaget juga, ternyata banyak yang mencari melon hidroponik premium,” ungkapnya,

Antusiasme itu membuatnya berpikir lebih jauh. Ia membuka rumah tanamnya untuk umum, mengubahnya menjadi wisata petik melon hidroponik konsep agrowisata sederhana yang kini mulai dilirik warga.

“Biar masyarakat juga tahu, bertani itu bisa menyenangkan dan menguntungkan. Saya ingin anak muda melihat pertanian sebagai masa depan, bukan masa lalu,” ucapnya.

Beberapa waktu lalu, kebun kecilnya kedatangan tamu tak biasa: rombongan biksu dari luar daerah. Mereka datang untuk belajar sekaligus menikmati ketenangan di tengah barisan tanaman hijau.

“Mereka bilang tempat ini menenangkan,” ujar Bayu.

“Bahkan mereka memborong melon sampai Rp600 ribu. Bagi saya itu bukan soal uangnya, tapi penghargaan atas kerja keras,” lanjutnya.

Bagi Bayu, politik dan pertanian tak sepenuhnya berbeda. Keduanya menuntut strategi, konsistensi, dan kepekaan terhadap perubahan.

“Kalau di politik, kita berjuang untuk suara rakyat. Di pertanian, kita berjuang untuk kehidupan. Dua-duanya penting, tapi sekarang saya merasa lebih damai,” ujarnya.

Setiap pagi ia memulai hari dengan mengecek pH air dan memeriksa daun-daun muda. Ia tak lagi mengejar jadwal rapat partai atau kampanye, melainkan mengikuti ritme alam: menanam, merawat, memanen.

Bagi banyak orang, kekalahan di politik berarti akhir. Tapi bagi Bayu, itu justru awal dari jalan baru.

“Kadang Tuhan menutup satu jalan supaya kita menemukan jalan lain yang lebih baik,” katanya.

“Dan bagi saya, jalan itu adalah pertanian. Dari tanah, selalu ada kehidupan. Dari kegagalan, selalu bisa tumbuh harapan,” lanjutnya.

Bayu Setyo Kuncoro kini menjadi salah satu contoh kecil tentang pergeseran paradigma di kalangan politisi lokal: dari panggung kekuasaan menuju lahan produksi.

Di tengah arus urbanisasi dan derasnya politik praktis, kisah Bayu memberi pesan sederhana namun kuat bahwa membangun negeri tidak selalu dimulai dari gedung parlemen. Kadang, ia tumbuh diam-diam dari sebuah rumah plastik di pinggiran kota, bersama aroma tanah dan manisnya buah melon.

Tombol Google News

Tags:

Bayu Setyo Kuncoro melon politik plastik Blitar Kota Blitar Agrowisata petik melon hidroponik politisi blitar