Malam itu saya duduk di sebuah ruang pertemuan yang sunyi. Hanya ada cahaya lampu neon putih pucat yang menyinari meja panjang penuh berkas.
"Di ruang sunyi perencanaan, teknokratik berdiri gagah dengan barisan data, menyusun mimpi lewat grafik dan tabel yang nyaris tanpa salah titik koma. Namun di luar sana, masyarakat berbisik lirih
“Yang kami butuhkan sederhana saja jalan di gang gang perkampungan tidak lagi becek, nyaman dilalui, sawah tidak terputus, sekolah tak bocor atapnya, UMKM tumbuh berkembang", Begitulah sang narasumber membuka pengantarnya.
Panggung megah itu semakin hidup, karena piawainya panitia mendatangkan ahlinya ahli sebagai narasumber, yang sangat fasih menjelaskan konsep pembangunan melalui dua pintu masuk yakni teknokratik dan pokir.
Dimulai dari teknokratik, ia menjelaskan bahwa program disusun oleh eksekutif (OPD), berbasis data, kajian akademik, indikator makro, serta rencana jangka panjang, artinya lebih ke evidence based planning.
Sementara pokir (pokok pikiran) DPRD menurutnya diusulkan oleh DPRD berdasarkan hasil reses, aspirasi masyarakat, serta penyerapan isu langsung di lapangan, atau lebih ke aspiration based planning.
"Sehingga terdengar aneh dan lucu kemudian bila ada OPD yang begitu bangga menyebut programnya “teknokratik”, seolah lahir dari riset panjang, dari data berlapis, dari visi besar.
“Namun saat ditengok ke lapangan, yang disebut teknokratik itu hanyalah kegiatan mikro menambal jalan kecil, memasang lampu, atau menyalurkan bantuan receh,” begitulah dia memulai kritiknya.
Menurutnya, meski kadang hanya sepotong kecil dari puzzle besar pembangunan. Pokir tak boleh dipandang sebelah mata seolah hanya deretan “titipan proyek kecil.” karena, di situlah denyut nadi rakyat tersimpan.
Di mana membangun jalan kecil yang menghubungkan anak-anak desa ke sekolah, penerangan yang menjaga ibu-ibu dari gelapnya malam saat pulang pengajian, atau bantuan sederhana yang menahan petani agar tak menjual tanah warisan.
Saya pun terhipnotis oleh pemikiran yang disampaikan dengan epic itu. Utamanya saat dia menjelaskan, bahwa pokir datang dari suara rakyat, dari lorong-lorong desa, dari tatapan ibu-ibu yang menginginkan air bersih, dari petani yang merindukan jalan ke sawahnya. Ia cepat, nyata dan menyentuh.
Menurutnya orientasi kegiatan teknokratik, harus Fokus pada visi misi kepala daerah, target pembangunan jangka menengah/panjang, indikator RPJMD, dan tema strategis. Sementara pokir fokus pada kebutuhan nyata dan cepat dirasakan masyarakat, sering berupa infrastruktur dasar, layanan publik, atau bantuan langsung.
"Teknokratik itu rasional, akademis, menekankan kesinambungan program lintas tahun. Sedangkan Pokir: Kontekstual, responsif, menekankan keadilan distribusi, manfaat secara merata di dapil,” ia melanjutkan.
Di tengah keseriusan itu, sebuah suara tiba-tiba meledak dari bangku belakang. Suara yang menusuk telinga, seolah menembus segala kerumunan.
“Hai Bung, Teknokratik sejatinya bicara arah pembangunan jangka panjang, tentang industrialisasi, tata ruang, ketahanan pangan, tentang strategi besar yang mengikat masa depan daerah. Jika yang dilakukan hanya urusan mikro maka OPD tak lebih dari tukang cat ulang tembok retak, yang tiap tahun bangga dengan kerja kecilnya, namun lupa bahwa rumahnya hampir roboh. Sudah saatnya OPD berhenti menjadi wasit yang sibuk meniup peluit di tengah tarik-menarik, dan mulai kembali ke naskah utama: melayani rakyat, bukan sekadar menjaga perasaan kursi empuk.” sontak suara itu mengagetkan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang yang juga hadir sebagai narasumber kedua dalam diskusi itu.
Saya tersentak. Kata-kata itu seperti tamparan. Sesaat, suasana hening. Wajah-wajah OPD yang tadinya angkuh dengan data tiba-tiba memucat. Kritik itu memang pedih, tapi tak bisa dibantah.
Saya bangkit, mencoba menengahi. “Sepakat Bung,” kaya saya, suara saya bergetar tapi tegas, “Bila OPD hanya terpaku pada rencana teknokratiknya, maka ia jatuh pada kesombongan. Pembangunan tampak megah di dokumen, tapi kosong di hati rakyat, tapi sebaliknya, bila Wakil Rakyat hanya mengejar pokir tanpa arah besar, pembangunan pun bisa tercerai-berai, ibarat mozaik tanpa gambar utuh.
Karenanya, DPRD dan OPD harus duduk sejajar, membaca peta yang sama, dan menyulam data teknokratik dengan aspirasi pokir. Sebab rakyat tak menuntut grafik, mereka menuntut kehidupan yang lebih baik.”
Saya melanjutkan, kalimat saya mengalir seperti penceramah viral berikan kultum, “Teknokratik adalah peta besar, kompas yang menunjukkan arah, sementara pokir adalah detak jantung, denyut yang membuat arah itu bermakna. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan disulam dalam satu kain. Kain pembangunan yang kokoh karena benang strategisnya kuat, sekaligus hangat karena anyaman aspirasi rakyatnya hidup.”
Ruang rapat menjelma dermaga, "apa gunanya merancang kapal luar angkasa, jika perahu nelayan di pantai pun belum bisa berlayar dengan tenang? Mari kembali rendah hati, jadikan teknokratik sebagai peta, dan pokir sebagai suara kompas. Sebab bila keduanya berpadu, barulah pembangunan benar-benar sampai ke hati rakyat,” saya melanjutkan.
Keduanya sama-sama penting, tapi tanpa saling menyapa, mereka hanya akan terombang-ambing di gelombang sejarah. Saya berteriak dari dermaga, “Apa gunanya merancang kapal luar angkasa jika perahu nelayan di pantai pun belum bisa berlayar dengan tenang?”
“Pak, bangun Pak, sudah sampai kantor.” Tiba-tiba kudengar suara akrab membuyarkan semuanya. Suara Tony sahabat yang selalu siap grak !!! mengantar saya.
Aku tergeragap, menyadari ternyata aku tertidur lelap sepanjang perjalanan dari Dau menuju Jalan Panji.
Keringat masih membasahi kening saya, sisa dari kelelahan semalam. Saya baru saja menjelaskan panjang lebar pada tiga dari lima kelompok masyarakat penerima pokir.
Mereka datang dengan harap, tapi pulang dengan kecewa. Semua usulan sudah diinput di SIPD, lengkap dan rapi, tapi apa yang terjadi? Realisasi tak kunjung datang. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang berdalih: anggaran habis.
Saya menatap keluar jendela mobil. Langit Malang masih kelam, jalanan ramai, tapi pikiran saya berat. Rupanya mimpi barusan bukan sekadar bunga tidur. Semoga ia bukanlah cermin dari kenyataan.
*) Abdul Qodir merupakan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)