KETIK, ACEH SINGKIL – Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Rifqi Maulana, SH., mendesak pemerintah pusat segera menunaikan butir-butir MoU Helsinki yang telah lebih dari dua dekade diabaikan.
Menurutnya, kewenangan politik, ekonomi, serta hak masyarakat Aceh dalam mengelola sumber daya alam masih jauh dari harapan.
"Kami dulu melawan karena tidak adanya keadilan, kesejahteraan, dan hak-hak ekonomi. Hasil alam diambil, tapi kami tidak pernah mendapat apa-apa," tegas Rifqi, Sabtu, 20 September 2025.
Ia menilai selama ini pemerintah pusat menjadikan hukum sekadar alat kompromi politik, sehingga masyarakat Aceh terus dirugikan.
“Jangan biarkan keadilan hanya jadi slogan. Rakyat Aceh sudah terlalu sering jadi korban tarik-menarik kepentingan elit Jakarta,” ujarnya.
Rifqi menekankan generasi muda hukum di Aceh, khususnya mahasiswa Fakultas Hukum, harus bersatu lintas kampus dan disiplin ilmu untuk menjaga marwah UUPA.
"Kampus jangan hanya jadi ruang diskusi teoritis. Akademisi dan mahasiswa wajib mengawal kebijakan publik agar tidak menyimpang dari semangat keadilan,” tambahnya.
Ia juga menegaskan UUPA harus menjadi landasan utama setiap kebijakan daerah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Rifqi mencontohkan kawasan Ekosistem Leuser yang bila dikelola dengan tepat, mampu memperkuat kedaulatan Aceh.
Selain itu, Rifqi menyoroti keberlanjutan Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang menjadi taruhan besar dalam proses revisi UUPA.
“Wakil rakyat Aceh di Senayan tidak boleh lunak. Ini menyangkut nasib Serambi Mekkah. Advokasi harus terus dilakukan sampai UUPA ditegakkan sepenuhnya,” ujarnya.
Dalam konteks sumber daya alam, Rifqi menegaskan kembali soal kesepakatan bagi hasil 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pusat.
“Jangan main-main. Kita masih termiskin di Sumatra dengan angka pengangguran tinggi. Hasil bumi Aceh harus dinikmati rakyat, bukan jadi bancakan pusat,” pungkasnya. (*)