KETIK, SURABAYA – Sanggar Bumi Laras Manunggal menjadi ruang bersama para seniman di Surabaya untuk berkreasi. Sanggar yang berdiri pada tahun 1995 ini menjadi rumah bagi berbagai paguyuban seni budaya yang aktif hingga kini.
Pendiri Sanggar Bumi Laras Manunggal, Sugito, menceritakan awal berdirinya tempat kesenian yang berada di Jalan Gayung Kebonsari Injoko Nomor 60 itu.
"Sanggar ini saya rintis mulai tahun 1995, saat itu kami melihat di Surabaya dan sekitarnya belum banyak tempat untuk orang-orang yang ingin berkesenian dan melestarikan budaya. Karena itu, kami memutuskan mendirikan sanggar wayang kulit ini,” jelasnya.
Untuk keberlangsungan sanggar yang terbuka untuk umum ini, kini diketuai oleh Dr. Adam Suwito, SH, MH. Dia terus mendorong aktivitas sanggar agar tetap berjalan aktif.
Sanggar yang lokasinya tepat di belakang kantor ATR/BPN tersebut bangunannya sangat sederhana. Meski begitu, sanggar ini menaungi berbagai kelompok seni. Di antaranya Wayang Kulit gagrak Solo, Wayang Kulit gagrak Jawa Timuran, hingga campursari Langen Gita Surabaya.
Mengenai nama sanggar, Sugito menuturkan ada makna khusus. Dia terinspirasi dari nama kantor tempat dia bekerja.
“Nama sanggar ini saya ambil dari Badan Pertanahan Nasional. Dari situlah lahir nama Bumi Laras Manunggal,” ujar bapak satu anak itu.
Selain wayang kulit, sanggar ini juga menjadi rumah bagi komunitas Jaranan Turonggo Singo Barong, para master ceremony (MC) manten dan cucuk lampah yang biasa terlibat dalam prosesi adat Jawa.
Aktivitas latihan di sanggar dilakukan secara rutin tiap Rabu malam, khususnya untuk wayang kulit. Tak hanya itu, sanggar ini sering dipakai untuk acara-acara budaya lainnya seperti peringatan Hari Wayang dan pertunjukan seni lokal.
Peralatan di sanggar terbilang lengkap. Terdapat gamelan wayang, sound system, panggung permanen, serta panggung rigging yang menunjang pementasan. Semua perlengkapan itu disiapkan swadaya dan dikelola secara kolektif oleh komunitas.
Untuk mempertahankan minat masyarakat terhadap wayang kulit, sanggar terus menghidupkan kegiatan budaya.
“Kami rutin menggelar latihan, pementasan, melibatkan generasi muda supaya mereka tidak asing dengan wayang. Harapan kami, sanggar ini bisa tetap hidup sebagai ruang pelestarian budaya,” tutur dia. (*)