Kalau berbicara mengaji atau ikut kajian agama, masyarakat Islam di Indonesia sudah termasuk kelompok yang sangat rajin mengikutinya. Entah itu dari kalangan anak-anak maupun dari orang dewasa. Bahkan, orang-orang berusia lanjut pun masih semangat untuk menghadiri kegiatan-kegiatan tersebut.
Di balik tingkat keikutsertaan mengaji yang cukup bagus, apakah ilmu-ilmu yang didapat mereka benar-benar diterapkan? Atau jangan-jangan mereka hanya sekadar ikut-ikutan tren dan gaya-gayaan? Hal lebih parah lagi, bisa saja ada yang motivasinya untuk pencitraan saja.
Di Indonesia, ada banyak penceramah yang selalu ramai didatangi umat Islam setiap kajian, seperti Ustadz Hanan Attaki, Ustadz Adi Hidayat, Habib Husein Ja’far Al Hadar dan lain-lainnya. Tak tanggung-tanggung, kehadiran mereka mampu menarik minat anak-anak muda yang biasanya sulit digapai. Sebuah hal yang patut menggembirakan bagi umat Islam di Indonesia.
Keikutsertaan anak-anak muda dalam kajian agama tentu patut diapresiasi. Situasi ini menandakan bahwa ajaran agama yang disampaikan melalui ceramah tidak ditinggalkan sepenuhnya mereka. Secara garis besar, bisalah kita menyimpulkan tingkat anak muda dalam mengaji sudah menunjukkan tren yang bagus.
Antara Mengikuti Tren dan Mengharapkan Rida Allah Swt
Yang paling dikhawatirkan dari adanya kondisi ini sebenarnya berkaitan dengan motivasi dari peminat kajian. Terkadang ada yang mengikuti kegiatan tersebut karena ingin ikut tren saja. Ini sering kali dikategorikan sebagai fenomena fear of missing out (FOMO).
Selain itu, juga ada yang motivasinya karena ingin validasi diri. Cara ini biasanya ditunjukkan agar individu terlihat saleh/salehah di kalangan pertemanannya. Beberapa ada yang memilih memamerkannya dengan mengunggah di media sosial (medsos), baik itu Instagram, TikTok, Facebook, maupun X.
Jika kita amati, maka akan terlihat adanya budaya FOMO dan pamer guna validasi diri. Ini terlihat biasa bukan? Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai fenomena tersebut?
Mengaji merupakan salah satu kegiatan dari ibadah dalam bentuk membaca, memahami, dan mempelajari Alquran.
Secara harfiah, ibadah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna sebagai perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah Swt yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itu artinya sebuah ibadah hendaknya semata-mata hanya ingin mendapat keridaan dan pujian dari Allah SWT, bukan dari manusia semata.
Perintah Allah SWT., agar umatnya beribadah dengan niat semata-mata karena-Nya bisa diamati melalui surat Al-Zumar ayat 11. Isi surat ini bisa diamati melalui paparan berikut ini.
قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ ١١
Artinya:
"Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.’"
Melalui ayat tersebut, terlihat jelas bahwa umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah dengan niat seutuhnya untuk Allah SWT. Tidak boleh ada niat pamer apalagi ikut tren yang tak diketahui motivasi nyatanya. Larangan pamer pun dapat kita pelajari melalui hadits riwayat Bukhari dan Muslim berikut ini.
من رآى رآى الله به ومن سمَّع سمَّع الله به
Artinya :
“Barangsiapa yang beramal ingin dilihat, maka Allah akan tampakkan amalan riya itu dan barangsiapa yang beramal dengan sum’ah, maka Allah akan bongkar pula amalan sum’ah tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)
Keberadaan hadits larangan pamer ini menunjukkan betapa Allah SWT tidak menginginkan umatnya untuk merasa tinggi hati dibandingkan manusia lain. Dia tidak ingin hamba-Nya menduakan niat yang bukan selain-Nya. Kemurnian niat ibadah terutama dalam mengaji harus tetap diutamakan bagaimanapun keadaannya.
Bukti-bukti larangan pamer juga dapat ditemukan melalui peribahasa yang ada di Indonesia. Sebut saja peribahasanya seperti ini “Ketika tangan kanan melakukan maka tangan kiri tidak perlu tahu”. Ini merupakan peribahasa yang sudah bukan hal asing lagi bagi masyarakat Muslim di Indonesia?
Peribahasa itu mengindikasikan bahwa tindakan kebaikan yang dilakukan manusia sebaiknya tidak perlu diumbar. Tak perlu orang tahu bahwa yang bersangkutan sudah melakukan perbuatan baik termasuk ibadah dalam mengaji.
Penjelasan di atas sudah sepatutnya dapat menjadi pengingat untuk umat Muslim. Hal ini terutama bagi mereka yang niatnya masih sedikit menyimpang. Niat yang belum sesuai ketentuan yang sudah ditekankan Allah Swt dalam aturannya.
Tetaplah Mengaji
Pada umumnya, tidak apa-apa jika kita ikut mengaji karena terdampak karena tren, asalkan niat hati semata-mata karena ingin mendapatkan pahala Allah Swt.
Tidak apa-apa apabila ingin mengunggah aktivitas mengaji di medsos, asalkan ditunjukkan agar orang lain termotivasi untuk melakukan hal serupa. Jangan sampai niat itu hanya untuk dipuji oleh orang lain, apalagi agar dilabeli sebagai manusia saleh/salehah.
*) Wilda Fizriyani merupakan pengajar di Pondok Pesantren Internasional Abdul Malik Fadjar (PPI AMF)
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
