KETIK, JEMBER – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Timur mengecam lambannya penanganan kasus dugaan pemerkosaan terhadap SF (21), mahasiswi asal Kecamatan Balung, Kabupaten Jember. Lembaga negara pengawas pelayanan publik itu menilai, aparat kepolisian dan pemerintah desa gagal memberikan perlindungan sejak awal, bahkan diduga kuat melakukan maladministrasi yang berujung pada lolosnya pelaku.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur, Agus Muttaqin, menegaskan bahwa sikap tidak responsif aparat dan perangkat desa menunjukkan lemahnya komitmen terhadap penegakan hukum serta perlindungan korban kekerasan seksual. Ia menilai, keterlambatan tindakan aparat bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi bentuk nyata pelanggaran terhadap hak-hak dasar korban.
“Aparat desa jelas terindikasi mengabaikan kewajiban hukum untuk mendampingi warganya yang menjadi korban tindak pidana. Polisi juga lalai menjalankan tugasnya karena menunda tindakan hingga pelaku sempat kabur. Karena itu, kami mendesak agar pelaku segera ditetapkan sebagai DPO,” tegas Agus Muttaqin saat dikonfirmasi, Rabu, 22 Oktober 2025.
Ombudsman Jawa Timur berencana melakukan investigasi proaktif guna mengungkap dugaan pelanggaran prosedur dalam pelayanan publik. Agus juga menyoroti tindakan kepala desa yang justru mendorong penyelesaian secara kekeluargaan—langkah yang bertentangan langsung dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan secara kekeluargaan. Pendekatan seperti itu bukan hanya menyalahi hukum, tetapi juga menambah penderitaan korban dan mengkhianati prinsip keadilan,” ujar alumnus Universitas Jember tersebut dengan nada tegas.
Agus juga menyesalkan fakta bahwa korban harus membayar sendiri biaya visum et repertum di rumah sakit. Menurutnya, hal itu mencerminkan buruknya koordinasi antarinstansi dalam memberikan layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual.
“Negara seharusnya hadir, bukan absen. Ketika korban harus menanggung biaya visum dan tidak mendapat pendampingan psikologis, itu menunjukkan kegagalan sistemik dalam pelayanan publik,” tegasnya.
Kasus dugaan pemerkosaan terhadap SF dilaporkan ke Polsek Balung pada 15 Oktober 2025. Namun, hingga beberapa hari setelah laporan dibuat, tidak ada tindakan konkret dari aparat. Pelaku berinisial SA (27), yang disebut memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa, kini buron.
Saat ini, penanganan perkara telah diambil alih oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember. Sementara itu, organisasi masyarakat sipil seperti LBH IKA PMII Jember, Kopri PMII Jember, dan Fatayat NU Jember turun tangan memberikan pendampingan hukum kepada korban serta menuntut transparansi dan kecepatan proses hukum.
Ombudsman Jawa Timur mengingatkan masyarakat dan pendamping korban agar tidak tinggal diam jika menemukan pelanggaran prosedur. Setiap bentuk kelalaian aparat, kata Agus, harus segera dilaporkan agar dapat diproses melalui mekanisme pemeriksaan dan klarifikasi resmi.
“Setiap tindakan abai terhadap korban adalah bentuk pelanggaran tanggung jawab publik. Negara wajib memastikan korban mendapatkan keadilan dan perlindungan penuh,” pungkasnya. (*)