KETIK, PALEMBANG – Proses hukum yang menjerat pengusaha senior asal Palembang, Kemas Haji Abdul Halim atau akrab disapa Haji Halim, kini memasuki babak yang mengkhawatirkan.
Di usianya yang telah mencapai 87 tahun, kondisi kesehatan Haji Halim dilaporkan semakin memburuk. Ia harus menjalani perawatan medis intensif, bergantung pada alat bantu pernapasan, dan nyaris tidak lagi dapat beraktivitas secara normal.
Seorang perwakilan keluarga menuturkan bahwa kesehatan Haji Halim semakin tergerus oleh proses hukum yang panjang dan penuh tekanan.
“Beliau semakin lemah. Sering mengalami sesak napas, tubuhnya tidak sanggup banyak bergerak, bahkan harus diawasi medis selama 24 jam. Tekanan mental akibat proses hukum juga semakin memperburuk kondisi kesehatannya,” ungkapnya dengan nada penuh haru.
Keluarga berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam menjatuhkan putusan, mengingat kondisi kesehatan Haji Halim yang tidak lagi memungkinkan untuk menjalani hukuman penjara.
Kekhawatiran serupa juga datang dari kalangan masyarakat. Banyak tokoh agama dan ormas Islam di Sumatera Selatan menyampaikan keprihatinan terhadap situasi yang menimpa Haji Halim.
Sebagai sosok dermawan, Haji Halim selama puluhan tahun telah banyak berkontribusi untuk umat. Hal ini membuat kasus yang menimpanya dinilai telah bergeser dari substansi.
“Sejak tahun 1980-an beliau membangun masjid, mushalla, membantu anak yatim, pondok pesantren, hingga kaum duafa. Sosok seperti ini seharusnya dihargai. Kondisi kesehatan beliau saat ini membuat kami sangat prihatin. Kami berharap hukum dapat berjalan adil, tidak sekadar menghukum, melainkan juga mempertimbangkan sisi kemanusiaan,” ujar salah seorang tokoh.
Masyarakat menilai, Haji Halim yang selama ini dikenal bersih dan dermawan kini justru menjadi korban kriminalisasi. “Sulit diterima akal sehat, seorang tua yang sakit-sakitan masih diproses pidana hanya karena persoalan tanah yang status hukumnya sudah jelas,” tambahnya.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Palembang yang menyidangkan terdakwa Yudi Herzandi, terungkap fakta penting: lahan seluas 34 hektare yang disengketakan dalam kasus Tol Betung–Tempino sebetulnya telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 1993 melalui Surat Keputusan Kementerian Kehutanan.
Dengan demikian, tanah tersebut secara hukum bukan lagi tanah negara. Selama puluhan tahun, lahan itu dikelola warga sebagai kebun karet sebelum akhirnya dibeli dan dikelola oleh Haji Halim melalui unit usahanya.
Fakta ini memperkuat argumen bahwa penafsiran jaksa yang menyebut tanah itu sebagai tanah negara bekas kawasan hutan adalah keliru.
Akademisi hukum dari Universitas Muhammadiyah Palembang, Conie Paniah Putri, menilai kesalahan tafsir tersebut dapat mengarah pada kriminalisasi.
“KUHP sebenarnya menyediakan jalan keluar yang lebih adil. Ada opsi hukuman alternatif seperti denda, pembatasan aktivitas, atau bahkan restorative justice. Prinsipnya, tujuan hukum adalah keadilan dan kemanfaatan, bukan semata menghukum. Apalagi terdakwa sudah berusia lanjut, dalam kondisi sakit,” jelasnya.
Pandangan lebih tajam disampaikan oleh mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jam Intel) Kejaksaan Agung, Jan Maringka. Ia menegaskan bahwa penyelesaian persoalan lahan untuk kepentingan umum seharusnya tidak dibawa ke ranah pidana.
“Kalau tanah itu dibutuhkan untuk proyek kepentingan umum seperti jalan tol, mekanisme hukum kita sudah jelas, dilakukan konsinyasi di pengadilan. Negara tetap dapat melanjutkan pembangunan, sementara masyarakat mendapat kepastian hak. Kriminalisasi pemilik lahan justru menimbulkan ketidakpastian hukum, merusak rasa keadilan, dan merugikan warga negara,” tegasnya.
Pernyataan tersebut relevan dengan kasus Haji Halim. Dengan status tanah yang sah telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak 1993, kriminalisasi justru berpotensi menciptakan preseden buruk bagi perlindungan hak-hak masyarakat dalam pembangunan infrastruktur.
"Kasus ini seharusnya ditangani dengan nurani. Hukum tidak boleh buta terhadap kemanusiaan. Apalagi, fakta persidangan sudah jelas menunjukkan lahan tersebut sah secara hukum. Menjatuhkan hukuman penjara kepada orang yang Sudah renta dan sakit berat sama saja dengan menjatuhkan hukuman mati perlahan" tegas perwakilan keluarga.
Apalagi, dalam persidangan, Haji Halim juga sempat dimintai keterangan sebagai saksi. la menegaskan tidak terlibat langsung dan tidak pernah bersinggungan dengan kedua terdakwa yang lebih dulu divonis.
Haji Halim mengaku hanya mengenal terdakwa Amin Mansyur secara sosial, melalui kegiatan pengajian rutin yang digelarnya setiap bulan Ramadan. Sementara dengan terdakwa Yudi Herzandi, ia baru berkenalan pada 2023 dan tidak mengetahui secara pasti jabatan Yudi saat itu.
Dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut Yudi Herzandi selaku Asisten I Sekretariat Daerah Muba dan Amin Mansyur, mantan Kepala BPN Muba, diduga melakukan pemufakatan jahat dalam proses pengadaan lahan proyek tol.
Keduanya dituding merekayasa legalitas agar lahan negara dapat dialihkan kepada pihak swasta, dalam hal ini PT SMB. Yudi bahkan disebut sebagai aktor utama yang menyusun konsep pengadaan lahan sekaligus memberi tekanan kepada perangkat desa agar menandatangani dokumen.(*)