Proses seleksi Direksi PDAM Tirtamarta di Kota Yogyakarta kini bukan lagi kasus insidentil. Kasus ini merupakan satu dari lebih 300 PDAM atau sekitar 68% PDAM di seluruh Indonesia yang tengah menggelar seleksi serupa, di mana kondisi dan dinamikanya dikabarkan mirip.
Masalahnya berakar pada interpretasi regulasi baru (Permendagri No. 23 Tahun 2024) yang alih-alih menertibkan, justru membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk memperluas kewenangan seleksi hingga menyentuh wilayah kepastian hukum jabatan Direksi yang masih sah dan berlaku. Ini adalah sebuah krisis tata kelola BUMD air minum yang kini menjadi sorotan serius di tingkat nasional.
Konteks di Yogyakarta menjadi studi kasus kritis untuk memahami isu ini. Setelah masa jabatan Direktur Utama berakhir, Panitia Seleksi (Pansel) mengeluarkan Pengumuman Nomor: 06/PANSEL DIR/PDAM/VII/2025 tentang Seleksi Calon Direktur Perusahaan Umum Daerah PDAM Tirtamarta Masa Jabatan Tahun 2025-2030, tertanggal 30 Juli 2025 dan ditandatangani oleh Aman Yuriadijaya, Ketua Pansel yang juga Sekda Pemerintah Kota Yogyakarta.
Landasan hukum yang digunakan terperinci: Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2017, Permendagri No. 37 Tahun 2018, Permendagri No. 23 Tahun 2024, dan Perda Kota Yogyakarta No. 16 Tahun 2018.
Secara substansial, Permendagri No. 23 Tahun 2024 membawa pendekatan klasifikasi PDAM berdasarkan jumlah pelanggan. PDAM Tirtamarta, dengan 31.339 pelanggan, masuk kategori PDAM kecil.
Klasifikasi ini seharusnya membatasi penyesuaian struktural sesuai skala perusahaan, bukan pembenaran untuk melakukan perombakan manajemen total yang melangkahi masa jabatan yang masih berlaku.
Ancaman Kepastian Hukum Sistemik
Titik kritis kasus Tirtamarta yang kini menjadi representasi kegamangan nasional muncul karena proses seleksi dilakukan di tengah fakta bahwa tidak seluruh Direksi PDAM Tirtamarta berakhir masa jabatannya secara bersamaan.
Masih terdapat Direktur Bidang yang masa jabatannya sah dan belum mendekati akhir periode. Pengumuman Pansel yang mencakup masa jabatan hingga 2030 secara eksplisit mengindikasikan target penggantian seluruh posisi direksi.
Dalam perspektif asas kepastian hukum, jabatan yang masih sah baik yang terjadi di PDAM Kota Yogyakarta maupun yang ada di seluruh PDAM di Indonesia tidak dapat diperlakukan seolah-olah kosong atau otomatis menjadi objek seleksi.
Masa jabatan adalah bagian dari jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum administrasi. Mengingat lebih dari 300 PDAM menghadapi situasi serupa, perluasan objek seleksi tanpa dasar hukum pemberhentian yang kuat ini berpotensi kuat menciptakan ketidakpastian administratif dan gelombang gugatan hukum kolektif yang belum pernah terjadi sebelumnya di tingkat nasional.
Kewenangan seleksi seharusnya difokuskan pada jabatan yang benar-benar lowong. Ketika ruang lingkup seleksi diperluas dilengkapi persyaratan ketat seperti harus berijazah S-1, memiliki pengalaman kerja minimal 5 tahun memimpin tim, dan tidak pernah merugikan keuangan negara muncul keraguan serius tentang efektivitas kebijakan dan batas penggunaan kewenangan administratif oleh kepala daerah.
Proporsionalitas dan Akuntabilitas Publik
Selain ancaman kepastian hukum, kasus PDAM nasional ini menyoroti asas kecermatan dan proporsionalitas. Pada PDAM skala kecil, yang modal dan sumber daya manusianya terbatas, stabilitas manajemen bukan sekadar pilihan, melainkan prasyarat mutlak bagi keberlangsungan pelayanan publik.
Seleksi Direksi yang terlalu luas, tidak berdasarkan kebutuhan lowongan yang sah, dapat menimbulkan gejolak internal, mengganggu kesinambungan program kerja, dan memboroskan anggaran daerah untuk proses rekrutmen yang tidak efisien.
Efek domino dari ketidakstabilan ini dapat dirasakan langsung oleh masyarakat yang bergantung pada pasokan air bersih.
Dari sisi akuntabilitas, publik di ratusan daerah berhak mengetahui secara transparan dan jelas dasar pertimbangan kebijakan yang berpotensi mengganti Direksi yang masih sah menjabat.
Kejelasan ini sangat vital untuk mencegah munculnya persepsi bahwa kewenangan administratif digunakan melampaui kebutuhan objektif organisasi dan peraturan yang berlaku.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi kebijakan tertentu atau menyerang individu. Diskursus ini justru menegaskan bahwa tata kelola BUMD yang sehat tidak cukup hanya patuh pada prosedur, tetapi juga harus menjaga kepastian hukum, proporsionalitas, dan batas kewenangan pemerintahan.
Menegakkan Tertib Administrasi Nasional
Pada akhirnya, isu yang muncul pada seleksi Direksi PDAM Tirtamarta adalah lonceng peringatan bagi tata kelola BUMD Air Minum nasional. Fokusnya harus bergeser dari sekadar pengisian jabatan menjadi bagaimana Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia menggunakan kewenangannya secara hati-hati, bertanggung jawab, dan patuh pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam konteks pelayanan air minum yang menyangkut hajat hidup masyarakat, ketidakpastian administratif yang terjadi pada lebih dari setengah PDAM di Indonesia dapat mengancam stabilitas layanan secara sistemik.
Oleh karena itu, kehati-hatian administratif yang berpegang teguh pada kepastian hukum seharusnya menjadi standar wajib nasional yang ditegakkan oleh otoritas pusat, bukan sekadar pilihan kebijakan lokal.
*) Dr. H. P.K. Iwan Setyawan, S.H., M.H merupakan
Ketua DPC PERADI Sleman, tinggal di Yogyakarta
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
